Opini

Regulasi Klasterisasi SKT Wujud Pemerintah Lindungi Rakyat

894
×

Regulasi Klasterisasi SKT Wujud Pemerintah Lindungi Rakyat

Sebarkan artikel ini
SKT
Gambar ilustrasi, (Sumber: Jatim.antaranews.com)

Menurut hemat penulis, jika demikian potret niaga tembakau nasional maka penulis menyarangkan adanya klasterisasi regulasi untuk SKT. Dasarnya, SKT adalah usaha tertua. SKT merupakan penyumbang tenaga kerja terbanyak.

Kita menyarankan agar Menteri Keuangan (eksekutif) bersama DPR RI (legislatif) untuk memikirkan bagaimana membuat klasterisasi regulasi. Hal itu bisa ditempuh dengan mengumpulkan sejumlah aktivis tembakau, aliansi masyarakat tembakau, dan lain sebagainya termasuk asosiasi tenaga kerja tembakau.

Scroll untuk melihat berita

Bahwa, SKT tetap dipertahankan dengan nilai tarif cukai yang tetap. Bahwa, SKT tetap difasilitasi negara untuk menyerap tenaga kerja yang besar dan disebar ke sejumlah daerah. Tidak terpusat di Jawa sentris.

Penulis agak sependapat dengan pernyataan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman Mudhara yang meminta perlindungan segmen bisnis sigaret kretek tangan (SKT) karena peran besar di atas, penyerapan tenaga kerja tinggi yang didominasi tenaga kerja perempuan, dan disabilitas, bahkan penerimaan cukai mencapai Rp200-an triliun atau 8-9 persen ke APBN.

Persoalan yang dihadapi selanjutnya adalah terkait UU Kesehatan. Satu pasal yang menyetarakan rokok dengan narkoba telah dihapus, namun di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kesehatan masih menjadi penghalang bagi industri.

Nah di sinilah butuh klasterisasi. Usaha segmen SKT tetap bertahan, namun di sisi lain regulasi tentang kesehatan yang harus menyesuaikan bukan mematikan SKT.

Jangan sampai SKT dan SKM digabungkan. Dari sini justru akan memicu banyak persoalan. Efisiensi tenaga kerja justru akan terjadi di mana-mana, dan ratusan ribu pekerja akan kehilangan pekerjaan. Sedari awal penulis, konsisten dengan pemikiran klasterisasi regulasi SKT, dibandingkan SKM dan SPM atau HPTL lainnya.

Klasterisasi harus dimulai dari beberapa persyaratan tahapan. Tahap pertama adalah sosialisasi meliputi penegasan bahwa SKT adalah inklusif namun diakui menyerap tenaga kerja sangat besar. Tahap kedua adalah tahap maping area.

Di sini dimaksudkan memetakan daerah mana saja yang memiliki serapan tinggi tenaga kerja dan diberi level batas maksimal produksi.
Tahap ketiga adalah pemahaman pemerintah daerah, pengusaha, dan legislatif dalam membuat klasterirasasi usaha segmen SKT ini.

Kemudian tahap keempat adalah penyusunan regulasi yang berisi komitmen klasterisasi dari hulu hingga hilir segmen SKT.
Jika sudah demikian bukan tidak mungkin SKT akan tetap memberikan sumbangsih tenaga kerja secara turun temurun dan dalam jumlah tetap di satu daerah. Namun bertambah di daerah lain. Kapasitas tiap daerah dibagi dengan tingkat sebaran yang adil.

Kemudian menetapkan target penerimaan negara dari cukai rokok, karena seluruh SKM dan SPM harus berbasis dari SKT. Sehingga bukan penggabungan tapi klasterisasi. Baik regulasi, daerah, dan produksi.

(*) Penulis adalah wartawan yang tinggal di Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id

>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *