Opini

Air Mata Najasyi dan Hijrahnya Muhajirin ke Ethiopia

871
×

Air Mata Najasyi dan Hijrahnya Muhajirin ke Ethiopia

Sebarkan artikel ini
Air mata
Ilustrasi Raja Najasyi saat menerima kedatangan kaum Muhajirin dari Mekkah

Oleh : Fikri Mahbub *

AIR matanya berlinang membasahi kerutan wajahnya yang mulai menua. Lebat jenggotnya yang putih turut dibasahi air mata yang sedari tadi mengalir. Najasyi tak kuasa menahan air di kelopak matanya, tak juga bisa menyeka. Penyebabnya, rentetan ayat Alquran yang dibacakan Ja’far bin Abu Thalib sebagai salah seorang dari gerombolan Muhajirin yang mengungsi ke Ethiopia.

Scroll untuk melihat berita

Kawanan Muhajirin tak kuasa menahan kebengisan kaumnya sendiri di Mekkah pada 613 Masehi. Siksaan, cacian, dan penolakan, memaksa mereka harus mengalihkan kehidupan di tempat nun jauh. Sekira 1.710 kilometer dari Mekkah.

Gerombolan Muhajirin itu diperintah oleh Nabi Muhammad, sebagai Rasul Allah yang saat itu juga turut serta membersamai kaumnya hijrah. Muhajirin sendiri merupakan orang-orang Islam dari kota Mekkah yang ikut berhijrah membersamai Nabi Muhammad ke Madinah.

Meski mengalah lalu pergi dari Mekkah, nyatanya golongan Quraisy di Mekkah tak juga rela membiarkan mereka mengungsi dengan membawa agama baru. Intimidasinya begitu kuat hingga Quraisy kala itu sampai-sampai bertandang ke kerajaan milik Najasyi. Amr bin Ash selaku utusan Quraisy menentang kuat atas sikap Raja lantaran menerima gerombolan pengungsi Muhajirin.

“Yang Mulia Raja Najasyi, kami menghadap baginda agar 83 orang kami dikembalikan kepada kami sebagai penduduk asli Mekkah. Mereka telah merusak agama leluhur kami dengan agama baru yang tidak jelas,” kata Amr bin Ash kepada Najasyi.

Raja pun keheranan dengan sikap konfrontatif yang ditunjukkan oleh utusan Quraisy. Merasa tak menemukan kecocokan di antara keduanya, kemudian Raja bertanya kepada para pengungsi. Apa yang membuat agama kalian berbeda? Mengapa memilih agama baru dan tidak mengikuti yang sudah ada. Rentetan pertanyaan keheranan Najasyi kepada para pengungsi.

Diajukan beberapa pertanyaan oleh sang Raja, Ja’far bin Abu Thalib melayangkan jawaban yang selama ini ia pahami dari Rasulullah. Ajaran agama yang penuh kebaikan dan menjunjung moralitas serta kemanusiaan menjadi topik utama Ja’far dalam menjabarkannya. Mungkin hatinya diikuti oleh kegugupan, jangan-jangan kalau salah menjawab maka kami akan diberikan kepada Quraisy dan kami akan kembali disiksa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *