Opini

Dialektika Gombal Mukiyo

1013
×

Dialektika Gombal Mukiyo

Sebarkan artikel ini
dialektika

Oleh : Hadi Prasetyo (*

Jika dialektika diartikan sebagai dialog dan komunikasi dua arah dari dua atau lebih pihak-pihak yang berdialektika, tentu ada substansi-substansi ensensial yang berlawanan dan dipertarungkan untuk merawat komunikasi, baik berupa persepsi, aspirasi, dan emosi dari pihak-pihak tersebut untuk menjalin ‘permusyawaratan’ (seperti sila ke-4 Pancasila) menuju cita-cita bersama.

Scroll untuk melihat berita

Dengan berjalannya waktu, hari ke hari selama 5 tahun masa bakti kekuasaan pemerintahan pasca Pemilu, pasti ada sesuatu yang senantiasa berubah atau perlu disesuaikan. Apalagi jika warna demokrasi dan pemilu lebih bersifat politik kekuasaan, yang menurut “Harold Laswell” sebagai politik praktis dan pragmatis sharing kekuasaan yaitu tentang siapa dapat apa kapan berapa besar dan dengan cara bagaimana.

Sebelum Pemilu dan sesudahnya, dialektika politik terus berlangsung, dari perlawanan bergeser jadi mitra koalisi, dan sebaliknya. Itulah dialektika politik dalam narasi besar ‘kekuasaan’.

Bagi pemenang, prioritas utama adalah menjaga statusquo kemenangannya sekaligus (bila mungkin) tetap pegang kendali penuh atas nama koalisi besar.

Bagi yang kalah atau tersingkir, ada yang bersikap biasa saja dan netral, ada juga yang kecewa, entah karena kalah atau karena jasa bantuannya selama proses Pemilu tidak diberi reward memuaskan.
Kelompok ini paling-paling hanya bisa “mengancam”: “Awas ya nanti di pemilu berikut nggak akan bantu lagi atau digembosi.” Lalu bergabung dengan para pengenritik melakukan perlawanan selama masa bakti rezim.

Di luar itu ada juga kelompok idealis seperti mahasiswa, guru besar, LSM yang civil society sejati, serta kaum professional yang bukan oportunis, yang terus menerus melakukan controlling bila terjadi ekses atau penyimpangan kekuasaan yang kelewat batas walaupun menghadapi kualitas penegakan hukum yang sering sempoyongan karena masuk angin.

Tetapi partai-partai yang kalah dan kelompok idealis, jumlahnya relatif sedikit. Bayangkan saja, menurut data KPU, dari 18 partai yang mendaftarkan, secara resmi menyampaikan laporan jumlah anggota partai, yang keseluruhan hanya berjumlah 8.227.521 jiwa (atau hanya 4.17% dari jumlah DPT resmi sebesar 204.807.222 jiwa).

Anggap saja dihitung dengan jumlah orang dalam rumpun kepala keluarga rata-rata 4 orang, artinya mesin partai-partai maksimum hanya didukung 3×4,17% =16.68% atau sekitar 32.910.084 jiwa dari total DPT. Itupun kalau anggota keluarga dari anggota partai militant; kalau tidak militan yang pasti jauh di bawah itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *