Opini

Demokrasi Ala Oligarki

324
×

Demokrasi Ala Oligarki

Sebarkan artikel ini
Demokrasi
Luthfi Hakim

Masih segar di ingatan kita, betapa terkurasnya energi publik pada riuh-rendahnya kegaduhan bangsa terkait Pilgub DKI 2017. Fenomena Kampret vs Cebong bukti betapa tidak cerdasnya masyarakat menyikapi politik dalam bungkus demokrasi.
Kita lupa bahwa kepala daerah hanyalah ‘nahkoda’ untuk menjalankan kapal besar yang bernama pemerintahan. Artinya, jauh lebih penting sebenarnya kita diskusi soal ‘kualitas kapal’ itu sendiri.

Tidak ada artinya punya nahkoda berkualitas jika kualitas kapal pemerintahan (birokrasi & peraturan – perundangan) tidak baik. Apalagi jika seluruh kru kapal dan nahkodanya – ternyata bermental tidak baik. Jika demikian, lantas buat apa ada pemilu dan pilkada. Sekadar mau mengklaim bahwa kita sudah demokrasi ?
Kualitas birokrasi pemerintahan – termasuk di daerah jauh lebih penting disoal ketimbang tenaga kita terkuras hanya untuk ngurusi pemilu dan dukung – mendukung figur calon. Reformasi birokrasi urgen dlakukan secara terus – menerus, termasuk mentalitasnya.

Scroll untuk melihat berita

Pertanyaannya, mampukah kepala daerah yang dipilih secara demokrasi itu melakukan reformasi birokrasi, sementara dirinya masih berpikir tentang cara mengembalikan besarnya biaya politik yang telah dikeluarkan di Pilkada. Maka yang terjadi (umumnya) adalah saling memanfaatkan peluang. Praktek political connection antara penguasa, birokrasi dan sponsor politik akan terus marak, untuk menghasilkan kebijakan sepihak yang hanya menguntungkan pihak – pihak kepentingan secara sepihak pula.

Fakta yang terjadi sekarang, sebagian kegiatan birokrasi di seluruh lini hanyalah soal bagaimana program dan keputusan yang diambil tidak menyalahi peraturan. Pekerjaannya hanya utak-atik cara mensiasati ketentuan agar aman. Tidak semua demikian, memang. Tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa faktanya banyak yang demikian.

Maka itu siapapun pemimpin yang terlahir dari  sistem demokrasi saat ini, tidak menjamin lahirnya kualitas pemerintahan yang baik. Lantas buat apa kita riuh rendah menguras energi terlibat super aktif pada percaturan pesta demokrasi? Padahal, sejatinya di balik kata demokrasi itu terkandung harapan besar masyarakakat, yakni terwujudnya kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera. Tapi faktanya kian jauh dari harapan.

Sudah bertahun-tahun sistem demokrasi diterapkan, tetapi faktanya belum bisa menghadirkan tata kelola pemerintahan yang ideal. Demokrasi hanya dimaknai secara teknis – prosedural pada sistem dan tatacara pemilu raya, tapi tidak pada subtansinya secara keseluruhan. Praktek penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan demokrasi bahkan terus marak. Korupsi, kolusi dan nepotisme kian meriah di sana – sini, yang sejatinya bertentangan dengan falsafah demokrasi itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *