Opini

Demokrasi Ala Oligarki

318
×

Demokrasi Ala Oligarki

Sebarkan artikel ini
Demokrasi
Luthfi Hakim

Hanya ada dua hal yang dipikirkan oleh kepala daerah atau anggota legislatif pasca dirinya terpilih, yakni Pertama: berfikir modal politiknya segera kembali, dan yang kedua:  bagaimana pada pemilu/pilkada berikutnya bisa ikut lagi dan harus menang. Sehingga hampir tidak terpikirkan tentang nasib dan kebutuhan rakyat. Kalau pun harus mengalokasikan untuk rakyat, umumnya masih terkait dengan kepentingan merawat konstituen.

Coba kita berhitung lagi, berapa sebenarnya pendapatan resmi kepala daerah (bupati, walikota, gubernur). Sebandingkah dengan biaya politik yang dikeluarkan. Jika rugi, kenapa banyak sekali yang ingin bertarung di pilkada. Jika jabatan itu menguntungkan, darimana keuntungan itu diperoleh. Jika pejabat kepala daerah ‘memaksakan diri’ agar untung, maka tidak sedikit yang karirnya kemudian berakhir di balik jeruji penjara.

Scroll untuk melihat berita

Artinya, sepanjang sistem politik dan biaya demokrasi masih mahal, maka sepanjang itu pula KPK akan dipertahankan keberadaannya. Karena kasus korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, akan terus berlangsung, sebagai konsekwensi logis dari besarnya modal politik yang dikeluarkan untuk menjadi pejabat maupun legislatif – dalam bungkus pesta demokrasi.

Edukasi, pencegahan dan penindakan oleh lembaga hukum akan menjadi mubazir selama banderol demokrasi politik masih mahal. Belum lagi kalau di lembaga penegak hukum itu sendiri masih ada oknum yang bisa mengatur tuntutan dan putusan hukum, maka lingkaran setan kemahalan pada sistem demokrasi Indonesia tidak akan pernah ada ujungnya.

Mahalnya biaya politik menjadi sumber utama lahirnya ‘political barriers’ bagi terciptanya kehidupan demokrasi yang madani, yakni peradaban berbangsa yang mengacu kepada nilai – nilai dan martabat (civilized society). Sistem demokrasi kita banyak terdistorsi oleh praktik – praktik yang berlawanan dengan ruh demokrasi itu sendiri. Termasuk memberi peluang bagi siapapun – meski tidak memiliki kapasitas, untuk menjadi pejabat/legislatif sepanjang mampu secara finansial.

Harus diakui, kita sering terjebak seolah kehidupan ini hanyalah soal  demokrasi dalam memilih pemimpin (kepala pemerintahan/legislatif). Pemilu dan pilkada seolah segalanya. Bahkan tidak jarang terjadi dikotomi ekstrim di lingkungan masyarakat hanya gegara membela figur calonnya yang maju di panggung politik. Diskusi soal politik dan pemilu jauh lebih besar porsinya dibanding soal – soal penting lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *