Opini

Joseph Goebbels dalam Gejolak Revolusi Nazi

754
×

Joseph Goebbels dalam Gejolak Revolusi Nazi

Sebarkan artikel ini
Joseph Gobbels
Joseph Gobbels, Petinggi Partai Nazi yang Menjadi Sosok Ikonik

Oleh : Fikri Mahbub

MATAHARI tampak bersinar redup di atas langit Kota Berlin siang itu. Pasukan Merah Uni Soviet sudah mengepung kota yang menjadi pusat pemerintahan pasukan Nazi. Tak banyak yang bisa diharapkan kecuali keajaiban setelah kekalahan telak Jerman atas pasukan Merah Uni Soviet. Kekalahan itu kian disahkan tatkala sang Fuhrer telah mengakhiri hidupnya sehari sebelumnya.

Scroll untuk melihat berita

29 April 1945 siang itu pula, legenda pasukan Nazi, Joseph Goebbels berdiri di depan Fuhrerbunker atau bunker di kompleks Reichkanzlei, yang biasa dikenal dengan Kekanseliran Jerman. Dengan fikiran berkecamuk dia tetap tenang, seakan ingin menguji kesetiaannya kepada Adolf Hitler yang sudah menjadi abu.

Kesetiaan Goebbels memang tak tertandingi. Pertama kalinya dia menolak perintah Hitler setelah beberapa dekade ia membersamai Hitler di pemerintahan Jerman kala tiu. Penolakan itu ia suarakan saat Hitler menyuruh untuk meninggalkannya dan juga Berlin. Hitler merasa dia harus menjadi kapten yang ikut tenggelam bersama kapalnya.

”Fuhrer ingin saya keluar dari Berlin wahai Nona Junge, saya diperintah memimpin pemerintahan baru di utara. Tetapi saya tidak bisa meninggalkan Berlin dan Fuhrer. Saya Gauleiter (pemimpin distrik) Berlin. Di sinilah tempat saya. Jika Fuhrer mati, hidup saya tiada artinya,” kata Traudle Junge, seorang sekretaris pribadi Hitler yang menirukan ucapan Goebbels saat diberitahu tentang pemindahan dirinya keluar Berlin, dikutip T. Thacker dalam Joseph Goebbels; life and death.

Goebbels malah membuat surat wasiat balik yang ditujukan untuk Hitler. Wasiat itu ia diktekan kepada Junge yang berniat membantu mengetikkannya. Sembari suasana haru menyelimuti ruangan itu Goebbels mengatakan ”Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya harus menolak menaati perintah Fuhrer. Begitupun istri dan anak-anak saya. Hati saya tak bisa membiarkan Fuhrer sendirian di saat yang ia butuhkan.! Bersama istri saya, lebih baik mengakhiri hidup di sisi Fuhrer,” kata Goebbels dalam wasiat sebelum kematiannya.

Perkataan Goebbels dalam wasiatnya memang benar dia lakukan hingga Hitler mengakhiri hidupnya pada 31 Maret 1945 saat bunyi letupan pistol ia dengar dari balik pintu kamarnya. Seketika wajahnya pucat melihat jasad idolanya dibawa keluar Bunker untuk dibakar dengan bensin. Dia pun menunaikan janjinya untuk mati di sisi Hitler. Sehari setelahnya, Goebbels bersama istri dan keenam anaknya mengakhiri hidupnya secara bersamaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *