Berita Utama

Pentingnya Perjanjian Pisah Harta di Mata Hukum

51
×

Pentingnya Perjanjian Pisah Harta di Mata Hukum

Sebarkan artikel ini
Perjanjian pisah harta
Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, SH., MH., Pakar Hukum Universitas Airlangga (UNAIR)

BERITABANGSA.ID, SURABAYA – Perjanjian pisah harta atau prenuptial agreement kerap menjadi sorotan dalam dunia pernikahan. Bagi pasangan yang akan atau telah menikah, perjanjian ini berperan penting untuk melindungi aset dari masalah hukum.

Menanggapi hal ini, Prof Dr Agus Yudha Hernoko SH MH, pakar hukum Universitas Airlangga (Unair), turut memberikan pendapatnya.

Scroll untuk melihat berita

“Perjanjian pisah harta memisahkan harta yang diperoleh masing-masing pasangan, baik sebelum maupun selama perkawinan. Ini bertujuan agar tanggung jawab hukum hanya berimplikasi pada harta milik individu,” ujar Prof Yudha.

Prof Yudha menjelaskan, pemisahan harta benda dalam perjanjian pisah harta tidak akan berdampak pada aset pasangan apabila terjerat kasus hukum.

Menurutnya, sumber harta yang termasuk dalam perjanjian pisah meliputi harta yang diperoleh sebelum perkawinan, warisan, hadiah, hibah, dan selama perkawinan.

“Apabila terjadi tindak pidana, maka harta benda yang diperoleh suami dari hasil tindak pidana yang dapat disita. Harta benda yang diperoleh oleh istri secara sah, tidak dapat dilakukan penyitaan,” ujarnya.

Kasus Penyitaan Aset

Merujuk pada Undang-undang KUHAP, Prof Yudha menuturkan bahwa penyitaan merupakan tindakan pengamanan barang bukti oleh penyidik.

Sedangkan dalam perkara perdata, penyitaan dilakukan untuk menjaga harta tergugat agar tidak hilang selama sidang.

Dalam konteks penyitaan aset, menurut Prof Yudha, hanya harta pribadi yang dapat disita kecuali kasus sita revindikasi. Dalam hukum pidana, objek yang dapat disita harus sesuai dengan pasal 39 ayat 1 KUHAP.

Prof Yudha menegaskan, perjanjian perkawinan memiliki konsekuensi hukum yang signifikan terhadap status harta benda yang diperoleh selama perkawinan.

Dalam hukum pidana, ia juga mengungkapkan bahwa terdapat upaya hukum bagi pihak ketiga yang dirugikan untuk mengajukan keberatan.

“Harta yang diperoleh selama perkawinan adalah milik pribadi. Jika harta istri disita karena gugatan terhadap suami, istri dapat mengajukan derden verzet atau perlawanan pihak ketiga yang dirugikan terhadap putusan penyitaan aset untuk membatalkan sita tersebut,” terangnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *