Akibatnya, jangan salahkan masyarakat menilai ada ketidakkonsistenan para petinggi negara kita ini, seperti Airlangga Hartarto. Menperindag ini mengakui bahwa SKT menyumbang perekonomian bangsa sangat besar. Termasuk mampu menyerap tenaga kerja begitu besar. Tapi kenapa tidak ada usulan dalam regulasi sama sekali.
Kita lihat, dalam satu artikel di media bahwa Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, ratusan ribu para pekerja linting sigaret kretek tangan (SKT), banyak tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, adalah pahlawan industri di Indonesia.
Mereka berkontribusi dalam penerimaan cukai bagi negara. Pada 2018 mencapai Rp153 triliun.
Baru- baru ini Airlangga juga berkunjung ke Jatim menemui pekerja linting di pusat fasilitas produksi PT HM Sampoerna Tbk di Surabaya, Jawa Timur, setelah dari Jogjakarta dan Jateng.
Kata Airlangga, Maret 2019 lalu menilai pentingnya industri hasil tembakau untuk menopang perekonomian Indonesia. Industri ini dipandang mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Dan menurut data Kemenperin, industri yang telah eksis selama lebih dari satu abad ini melibatkan sekitar 6.000.000 tenaga kerja di Indonesia.
Tak hanya itu, industri rokok juga dinilai sebagai sektor yang berorientasi ekspor sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi. Pada 2018, nilai ekspor rokok dan cerutu meningkat 2,98 persen dibanding 2017 sebesar 904,7 juta dolar AS.
Yang menarik adalah pernyataan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan industri sigaret kretek tangan (SKT) masih bertahan di saat era industri 4.0, sehingga pemerintah berpihak pada industri ini.
Bahwa pernyataan itu masih menindabobokan publik.
Kemungkinan besar ada varian industri lain berbasis tenaga kerja SKT atau tenaga linting rokok sedang disiapkan pemerintah dan pemodal di negeri ini. Seiring itu kita melihat Menteri Sri Mulyani, menaikkan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga pada rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya atau HPTL.