Oleh : Fikri Mahbub*
Lebaran tak memiliki daya arti luas untuk sebagian orang yang hanya menjalani rutinitas semata. Padahal reaksi kesadaran ketuhanan dapat diimplementasikan dalam perikaku hidup masing-masing manusianya.
Kaum modernis kini tak ayalnya hanya memandang segala sesuatu berupa materi. Mereka adalah pelaku meterialis sejati. Bahkan bisa dikata mereka mendistorsi bagian lain kehidupannya. Mensekularisasi kepingan hidup yang harusnya dipenuhi.
Lebih jauh lagi mari kita bertanya apa maksud dari kalangan luas itu berhari raya. Mungkin momentum ekonomi yang musababnya mendapatkan tunjangan hari raya atau ada rezeki sedikit untuk berpesta dengan keluarga.
Kemudian musabab psikologis, dimana orang-orang akan senantiasa melewati setiap retorika hari raya dengan mudik antusias dan bercengkrama dengan keluarga di kampung.
Atau mungkin inginnya melewati titik kulminasi stres sosial sehingga mencari aman mencari kompenasi dengan beramai-ramai ikut lebaran. Itu juga mengikutsertakan sisi rekreatif.
Apapun alasan itu, manusia kita sedang menampilkan alasan teoritis tanpa pemaknaan. Mereka rata-rata berdansa dalam irama mekanisme dialektis kebudayaan.
Namun dari semua teori yang dikemukakan, tak ada sedikitpun manusia yang dapat menelaah jauh dari hulu ke hilir mengapa budaya berhari raya, mudik, dan bersilaturahmi itu dilakukan setiap Ramadan berakhir.
Mereka hanya menyibukkan diri menjadi kaum pengikut. Mereka lupa sangkan paraningnya bahwa mudik selalu identik dengan pulang yang selalu mereka ikrarkan sebelum turun ke bumi. Mudik akan selalu identik dengan “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”. Itu jika kita telaah akar historinya.
Kemudian lantas manusia-manusia modern bisa menerima premis akar histori?. Itu sebabnya manusia moderen sangat keliru mengartikan ideologi moderenitas era kekinian.
(*) penulis adalah wartawan beritabangsa.id
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id.
