Oleh Moch Eksan*
Donald Trump menyatakan selamat atas keberhasilan Israel dan Iran yang bersepakat melakukan gencatan senjata. Ucapan orang nomor satu Amerika Serikat ini ternyata bagian dari propaganda damai yang dibantah oleh Iran. Sebab, Iran merasa bahwa serangan balasannya belum setimpal dengan penyerangan AS di berbagai fasilitas nuklir Iran.
Serangan Iran di pangkalan militer AS di Qatar, dinilai belum cukup sebanding dengan serangan AS. Iran belum puas menunjukkan kekuatan militer setelah Israel dan AS secara sepihak menyerang negeri Persia ini. Mereka masih ingin melanjutkan perang ini sampai negeri Zionis dan Paman Sam benar-benar menghentikan serangan ke Iran.
Ironisnya, klaim gencatan senjata dari Trump tak berbanding lurus dengan eskalasi konflik bersenjata antara Israel dan Iran. Kedua negara masih terus saling menyerang. Dengan begitu, klaim Trump tak lebih isapan jempol belaka. Klaim Trump itu sendiri merupakan manuver politik pada internal dan eksternal AS sebagai koreksi atas kegagalan misi penyerangan sekaligus meluasnya resistensi dari anggota Kongres dan publik AS itu sendiri.
Nampak jelas, Israel dan AS adalah negara yang paling menggebu-gebu ingin melakukan gencatan senjata dan mengakhiri perang. Padahal, mereka yang mengawali dan mereka pula yang ingin mengakhiri. Keinginan gencatan senjata adalah bukti bahwa Israel dan AS yang telah mengalami banyak kerugian, baik materil maupun moril. Sedangkan, Iran sendiri lebih memilih untuk melanjutkan perang sampai Israel dan AS benar-benar berhenti menyerang.
Sikap Iran seperti di atas adalah wajar, mengingat Iran ternyata lebih menguasai medan perang daripada negeri agresor tersebut. Ditambah dengan dukungan dari berbagai negara terhadap Iran beserta masyarakat dunia. Jujur, Iran telah memenangkan perang ini. Pemimpin Agung Iran Ayatullah Ali Khomaeni berhasil meningkatkan performa militer menghadapi negeri musuh. Publik dunia lebih mendukung Iran daripada Israel dan AS.
Maka dari itu, di tengah berhembusnya kabar gencatan senjata dari Israel dan AS, Iran tetap menyerang tanpa ampun. Sebab, yang diinginkan oleh Iran bukan sekedar gencatan senjata tapi perdamaian abadi. Iran masih sangsi terhadap iktikad baik dari dua negara untuk benar-benar berdamai. Jangan-jangan kesepakatan gencatan senjata itu hanya akal-akalan untuk melakukan persiapan lebih lanjut untuk kembali ke medan perang.
Sebagai pengikut Imam Ali Karramallahu Wajha, kelompok Syiah ini punya pengalaman sejarah pahit di awal pemerintahan Islam. Dimana perundingan damai pada saat Perang Siffin, justru merugikan mereka. Khalifah Ali yang hampir memenangkan perang melawan Yazid Bin Muawiyah tertipu oleh muslihat yang mengajukan perundingan di bawah Alquran. Hasil perundingan dua kelompok Islam ini menyebabkan kubu Ali terpecah pada dua kelompok. Yaitu Syiah dan Khawarij.