Sebagai contoh, PDIP dalam laporan ke KPU melaporkan jumlah anggota partai 474.247 orang, meraih suara 25.387.279 suara. Golkar yang mencatatkan jumlah anggota partai 834.218 orang meraih 23.208.654 suara.
Dari total 18 partai yang masuk Senayan hanya 8 partai, yang keseluruhan anggotanya berjumlah 3.775.033 jiwa ( 1.8% dari total DPT). Kalaupun dihitung partai koalisi pemenang saja yang beranggota 2.628.937 jiwa (1.28% dari total DPT), maka sesungguhnya rezim kekuasaan pemenang Pemilu secara riil organisatoris hanya didukung tidak lebih dari 2% dari total DPT Pemilu 2024; dan pengendalinya adalah tokoh pemimpin politik partai yang berjumlah 8 orang dari 8 partai, plus mungkin Pak Jokowi yang sedang dalam proses menjadi koordinator koalisi pemerintah.
Tentu ada keberatan dengan penalaran di atas, karena hasil Pemilu 2024 partai-partai pemenang didukung hampir 50% voters dan presiden-wapres didukung 58% voters dari total pemilih sah, yaitu suara sah pileg 151.796.63 1(74,11% DPT) suara sah Pilpres 164,227,475 (80.18% DPT).
Terhadap keberatan ini jawabannya sederhana, yaitu bahwa angka-angka tersebut adalah “snapshot” angka pada tanggal 14 Pebruari 20024 hari H Pemilu. Hari-hari berikutnya tentu terjadi perubahan, pergeseran persepsi termasuk ketidak pedulian terhadap struktur kekuasaan, yang penting tetap ada “pemeliharaan” terhadap kebutuhan hidup.
Seperti dimaklumi bahwa berdasarkan data-data yang ada di KPU, dukungan voters partai-partai pemenang pemilu dan presiden-wapres terpilih ternyata sekitar 96%nya ditentukan oleh para voters yang tergolong silent majority dan atau swing voters (bukan anggota partai).
Swing voters ini pada umumnya didominasi mereka yang berpendidikan SD dan SMP, juga emak-emak serta laki-laki yang tidak berijazah, serta kondisi rata-rata pendapatan masyarakat yang relative pas-pasan.
Maka rezim penguasa akan tetap mengandalkan bansos dan BLT untuk bisa memelihara dan mengontrol dukungan seperti pada saat hari H Pemilu.
Dalam situasi yang demikian, dialektika politik yang berkembang menjadi rumit. Bukan saja antara dua pihak berlawanan, tetapi antar berbagai pihak. Maka narasi besar harus dibangun oleh penguasa, seperti demi bangsa dan negara, demi keadilan dan kesejahteraan dan demi-demi lainnya, yang oleh Masyarakat jalanan disebut dialektika gombal mukiyo. Gombal Mukiyo adalah istilah khas Jawa Timur-an untuk menunjukkan ekspresi ketidakpercayaan.