Politik di Indonesia tidak bisa terlepas dari berbagai kepentingan dari dunia internasional, yang dalam millenium ke-3 dewasa ini kapitalisme makin mendominasi peradaban dunia global. Negara dan kapital atau pemerintah dan pasar adalah dua hal yang tidak sepenuhnya bisa dipisahkan.
Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan 3 asumsi dasar kapitalisme: kebebasan individu, kepentingan diri dan pasar bebas. Dalam perkembangan mazab kapitalisme dunia dewasa ini mendominasi hubungan dalam dua kutub. Pertama, ketergantungan kaum yang tidak berpunya kepada pemilik kapital, Kedua dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital.
Maka ketika pemerintah diintervensi dan dikontrol oleh kaum kapital (pemodal kaya), itulah sejatinya “plutokrasi” (menurut definisi Merriam-Webster.
Akumulasi kapital cenderung bersifat serakah (greedy), dan bila berkolaborasi dengan kekuasaan, maka tidak bisa tidak harus “curang” (cheating/fraud). Menurut Jonathan Gash: “ Fraud is the daughter of greed”. Persoalannya “curang”nya harus disamarkan dalam prosesi suksesi demokrasi yang netral, jujur dan adil (sesuai UUD/UU yang berlaku di Indonesia).
Lebih lanjut Suzy Kassem mengatakan: “when plutocracy is disguised as a democracy, the system is beyond corrupt” (Ketika plutokrasi disamarkan sebagai demokrasi, sistemnya sudah sangat korup).
Dalam konteks suksesi presiden dalam Pilpres 2024 di Indonesia, issue kecurangan dan stigma plutokrasi sangat mewarnai perdebatan public. Siapa yang mau dituduh curang? Jawabnya tidak ada!. Siapa yang mau dicurangi? Jawabnya tidak ada! Lalu apa curang itu benar-benar ada?
Kalau harus diputuskan ada atau tidak ada, maka kembali ke prinsip negara hukum yang (konon katanya) berkadilan. Tetapi dengan berbagai preseden kasus hukum sebelum ini yang secara telanjang dipertontonkan, apakah masih ada lembaga hukum (dan maaf integritas hakim) yang masih menghormati etika hukum/moral?
Dalam suksesi politik kekuasaan, menang secara (dipaksakan) legal saja tidak cukup harus ada legitimasi (pengakuan secara ikhlas) dari rakyat. Tanpa legitimasi tidak akan ada kondusivitas pemerintahan, apalagi mampu membawa ke era Indonesia emas 204, karena legitimasi rakyatlah yang membangun partisipasi pembangunan.