Namun beberapa jam berselang, Mahkamah Konstitusi menyatakan jika telah mengabulkan permohonan usia Capres-Cawapres agar diturunkan lebih muda lagi. Atau setidaknya pernah menjadi kepala daerah di sebuah wilayah.
Kabar yang cukup mengagetkan karena sebelumya putusan telah dibacakan, dan hasilnya ditolak. Namun setelah saya teliti kembali, gugatan itu diajukan oleh pemohon yang berbeda. Kali ini diajukan oleh mahasiswa yang mengaku kagum dengan Gibran Rakabuming Raka.
Gugatan nomor 90 yang diajukan mahasiswa Solo itu dikabulkan sebagian. Yakni syarat usia Capres-Cawapres tetap 40 tahun kecuali pernah/sedang menjabat kepala daerah. Yang berarti Gibran bisa melenggang maju menjadi Cawapres di kontestasi Pemilu 2024 nanti.
Berbagai komentar dilayangkan oleh sejumlah kalangan, termasuk Prof Saldi Isra yang merupakan hakim Mahkamah Konstitusi. Ia memulai pendapat dengan dissenting opinionnya yang menghebohkan. Dan saya rasa video Prof Saldi itu sudah mencuat menjadi tranding di beranda-beranda sosial media.
Dalam dissenting-nya, Prof Saldi mengungkap peristiwa ‘aneh’ yang luar biasa dan jauh dari batas penalaran yang wajar.
Pada intinya, Prof Saldi berpendapat permohonan pengujian perkara 90/PUU-XXI/2023 harusnya bernasib sama seperti perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 yakni ditolak.
Saya kira Mahkamah Konstitusi setidaknya bisa menerapkan pendekatan Judicial Restraint (pembatasan yudisial) dengan menahan diri untuk tidak masuk dalam kewenangan pembentuk UU. Meski teori di lapangan terdapat pendekatan Judicial Activisme. Pendekatan ini biasanya umum dipakai oleh hakim-hakim MK yang berbeda pendapat.
Namun, sebagai warga negara yang baik saya menghormati putusan yang dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi itu. Sifatnya final meski belum final di hati masyarakat Indonesia.
(*) Penulis adalah reporter beritabangsa.id
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id