Advertorial

Makam Sarip Tambakoso, Robin Hood Versi Masyarakat Sidoarjo Ditemukan

63
×

Makam Sarip Tambakoso, Robin Hood Versi Masyarakat Sidoarjo Ditemukan

Sebarkan artikel ini
Budayawan
M. Wildan Budayawan yang menjabat Plt Kepala Bidang Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo saat menabur bunga di Makam Sarip Tambakoso

BERITABANGSA.COM-SIDOARJO- Kamis (18/8/2022), penelusuran oleh budayawan Sidoarjo M Wildan dan tim, akhirnya menemui titik terang.

Utusan Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor, ini bertugas menggali sejarah Kota Delta, salah satunya mencari jejak Sarip Tambakoso, tokoh legenda masyarakat Sidoarjo dan Jawa Timur.

Berbekal dokumen pemberitaan berbahasa Belanda terbitan 1912, akhirnya jejak Sarip Tambakoso bisa terlacak.

Jasad Sarip dimakamkan tidak jauh dari Alun-alun Sidoarjo, di TPU Kwadengan Kelurahan Lemah Putro, Kecamatan Sidoarjo.

Tanpa dokumen itu, Sarip hanya akan jadi cerita legenda rakyat saja. Padahal, sosok Sarip benar adanya. Sosok Robinhood ini dikagumi masyarakat Jawa Timur khususnya Sidoarjo. Ia adalah simbol perlawanan pribumi terhadap kesewenang-wenangan pemerintah kolonial.

Dalam dokumen berbahasa Belanda yang diterbitkan Februari dan Maret 1912, itu menyatakan tentara kolonial mengepung lokasi Sarip bersembunyi.

Posisi Sarip diketahui Belanda dari mata-mata Belanda dan membocorkan kelemahan kekuatan Sarip.

Saat itu Sarip berada di rumah saudaranya, bernama Ma’ruf di Desa Tambakrejo, Kecamatan Waru. Tak butuh waktu lama, tentara Belanda mengepung rumah Ma’ruf dengan senjata laras panjang di berbagai penjuru.

Operasi itu membuahkan hasil. Peluru terbuat dari emas dan perak bersarang di dada Sarip. Sarip pun ambruk. Pejabat Belanda datang ikut memastikan Sarip benar-benar tewas. Peristiwa itu terjadi pukul 11.00 WIB, tanggal 30 Januari 1912 di media Belanda.

Untuk meyakinkan pemerintah kolonial, jasad Sarip di bawah ke kadipaten agar disaksikan pejabat pemerintah kolonial. Setelah itu kabar Sarip sudah meninggal tersiar ramai se kadipaten.

Purwandi, (65) warga Kwadengan menuturkan, nama Sarip tidak asing bagi warga Kwadengan, Kelurahan Lemah Putro. Ia mendapat cerita soal Sarip, turun temurun, dari ayah dan kakeknya.

Dulu pada 1900 an, Sarip dulu sering ke Pasar Sidoarjo. Lokasinya di kawasan Kelurahan Kauman.

Dia berani melawan belanda, dan akhirnya Sarip jadi buruan. “Warga sini yang hidupnya era kakek saya mesti mengetahui cerita tentang Sarip ini. Bahkan saya dipeseni (diberi pesan) kalau ke makam Kewadengan jangan main dekat Gundukan. Karena itu makamnya Sarip. Letaknya di bawah pohon Ulin,” kata Purwandi.

Cerita itu dikuatkan warga Kwadengan lainnya. Namanya Didik, pensiunan guru sejarah berusia 60 tahun lebih, teman se kampung sama Purwandi.

Kata Didik, ia masih remaja sering mendapat cerita dari ayah dan kakeknya.

“Cerita dari Mbah, kalau tidak salah waktunya sore hari, di luar ada suara bunyi Nung-Nung. Bunyi itu berasal dari Kenongan yang ditabuh salah seorang rombongan, jalan di depan rumah ini. Oleh mbah lantas dilihatnya rombongan itu menuju ke makam Kwadengan. Ikut rombongan ke pemakaman itu lebih banyak orang luar, bukan orang kampung Kwadengan,” tutur Didik.

Bahkan masyarakat Kwadengan, lanjut Didik, “tidak ada yang berani keluar. Karena, mereka diberitahu kalau yang dimakamkan di makam Kwadengan adalah jenazah Sarip Tambakoso. Nama Sarip memang sudah tidak asing bagi warga Lemah Putro,”.

Sementara itu, Wildan, Plt. Kepala Bidang Pengelolaan Informasi dan Komunikasi Publik Diskominfo Sidoarjo, mengakui dalam menelusuri jejak makam Sarip tidaklah mudah. Bahkan, warga Desa Tambaksumur dan Tambakrejo tidak ada yang tahu makam tokoh mirip Brandaloka Jaya itu.

Warga di dua desa ini meyakini kalau keluarga dan keturunan Sarip masih ada.

“Sempat kita wawancarai Pak Kosim warga Desa Tambakrejo. Rumahnya tidak jauh kantor Balai Desa Tambakrejo. Pak Kosim, sebatas tahu tanah tempat tinggal Sarip dan Mboknya. Peninggalan dan makam makam Mbok Sarip tidak tahu. Kosim sempat menunjuk letak makam Mbok Sarip di komplek makam tokoh ulama Desa Tambak Sumur, yakni makam Mbah Zaenal Abidin dan makam Mas Baedah,” terang alumni Filsafat UGM Yogyakarta itu.

Lanjut Wildan, makam ditunjukkan Kosim merupakan makam keluarga Mas Baedah yang diyakini keturunan Sunan Gunung Jati dari jalur Sayyid Sulaiman Betek Mojoagung, Jombang.

Makam ini jadi makam umum bagi warga sekitar namun sekarang dijadikan tempat wisata religi.

“Dari penelurusan Pak Kosim, kami masih menemui jalan buntu. Hingga akhirnya kita menemukan dokumen media cetak berbahasa Belanda pada 1912. Sempat kita minta bantuan translater bahasa Belanda untuk membantu menerjemahkan,” ujarnya.

Dari sana kemudian, Wildan menelusuri makam di dekat Alun-alun Sidoarjo. Penelusuran dengan petunjuk makam umum dengan usia tua.

Hingga lantas Wildan dan timnya mendengar kabar ada batu nisan bertuliskan Sarip Tambakoso, letaknya di pemakaman umum TPU Kwadengan.

Informasi itu kemudian mereka telusuri, antara yakin dan ragu, karena batu nisan itu terlihat masih baru dan terbuat adari marmer motif kotak sederhana.

“Untuk memastikan apakah dibawah batu nisan itu ada jasad Sarip, kemudian kita telusuri dengan menemui tokoh sepuh di Kwadengan. Tujuannya memastikan apakah makam Sarip yang ada batu nisan tadi,” terang Wildan yang juga memiliki hobi koleksi pusaka tua warisan nusantara.

Dari penelusuran itu kemudian mereka bertemu dengan Purwandi dan Didik, keduanya warga asli Kwadengan yang usianya terbilang sepuh.

Dari hasil wawancara dengan kedua tokoh sepuh itu, akhirnya terkuak bahwa di bawah batu nisan bertuliskan makam Sarip itu bukanlah jasad Sarip melainkan kendi yang berisi tanah yang diambil dari Desa Tambakoso.

Fakta itu diperoleh dari Didik. Didik menceritakan kalau dia yang mengambil tanah dengan temannya sesama pegiat budaya dan sejarah yang kini tinggal di Pemandian Jolotundo, Trawas Mojokerto.

Hal itu dilakukan untuk mengenang perjuangan Sarip yang dinilai memberi semangat perjuangan bagi pribumi.

Yang kemudian menjadi penemuan penting dalam melacak jejak makam Sarip saat Didik menceritakan bahwa dulu saat masih remaja ia mendapat cerita dari bapak dan mbahnya, kalau Jasad Sarip dimakamkan di makam umum Kwadengan.

Cerita ini sesuai dengan yang diceritakan Pak Purwandi. Kemudian diperkuat dengan dokumen media berbahasa Belanda yang menuliskan bahwa Sarip setelah ditembak mati kemudian jasadnya dibawa ke kadipaten untuk dihadapkan kepada pemerintah kolonial saat itu.

“Makam Kwadengan termasuk makam tua. Sebelum Taman Makam Pahlawan dibangun,tempat ini menjadi tempat pemakaman umum. Bahkan menurut cerita Pak Purwandi, banyak makam pahlawan yang dipindah ke TMP yang sekarang ini,” jelas Wildan.

Wildan juga tidak menutup informasi, bila saja masyarakat memiliki informasi pembanding dan temuan baru pihaknya dengan senang hati akan menelusuri. Karena pencarian jejak makam Sarip ini menurut Wildan untuk kepentingan bersama, kepentingan warga Sidoarjo.

“Sarip sebagai simbol keberanian orang pribumi melawan kesewenang-wenangan kolonial,” pungkasnya.

>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *