Seni Budaya

Wow, Begini Jadinya Seniman Gabung Sinode Gereja di Hari Lingkungan

51
×

Wow, Begini Jadinya Seniman Gabung Sinode Gereja di Hari Lingkungan

Sebarkan artikel ini

BERITABANGSA.COM-SURABAYA- Tepat dengan Hari Pantekosta, Departemen Oikumene dan Kemasyarakatan (Oikmas) Sinode GKI Wilayah Jawa Timur menggelar refleksi dan perayaan menggandeng para seniman memperingati hari lingkungan hidup se dunia, Minggu (05/062022), di halaman Gereja GKI Kutisari, Jalan Kutisari Indah 137 – 139 Surabaya.

Pendeta Firmanda Tri Permana, Ketua Departemen Oikmas yang juga menjadi ketua panitia acara menjelaskan, untuk kali ini ia membuat acara sedikit berbeda dengan kebanyakan acara GKI, yakni menggandeng para seniman dan budayawan untuk memberikan nuansa beda dalam berefleksi.

Scroll untuk melihat berita

“Kegiatan ini terbuka untuk umum sehingga semua warga masyarakat bisa datang menikmatinya,” tutur Pdt. Firmanda Tri Permana kepada Beritabangsa.com.

Pendeta Andri Purnawan, selaku Majelis Pertimbangan Sinode GKI Wilayah Jawa Timur menjelaskan, acara Pentas Seni dan Budaya ini diselenggarakan oleh Departemen Oikumene dan Kemasyarakatan GKI Sinode Wilayah Jawa Timur dengan mengundang dan melibatkan seluruh jemaat dan kawan-kawan lintas iman.

“Kami ingin merayakan hari lingkungan hidup, yang sekaligus bertepatan dengan hari Pentakosta,” tambahnya.

Konsepnya, menurut Andri, bagaimana di masa Pentakosta ini, gereja dan seluruh warga serta masyarakat sipil membangkitkan semangat lestari. Bumi yang merupakan anugerah Tuhan, persembahan semesta bagi seluruh kehidupan harus tetap dirawat.

“Dan Roh Kudus kami hayati sebagai Roh Pembaharuan. Di mana Roh hadir, di situ ada kehidupan, di mana Roh hadir di situ ada kelestarian. Salam lestari, salam pentakosta,” pungkas Pdt. Andri.

Pendeta Emiritus Simon Filantropa, Pendeta senior Sinode GKI Wilayah Jatim, dalam sambutannya menyampaikan, di hari lingkungan, biasanya GKI ngajak anak-anak mengenal lingkungan, main air, kunjungan ke pondok pesantren, dan ke semua lingkungan.

“Saya adalah orang yang tidak setuju kalau hanya peduli lingkungan hidup. Environment itu artinya lingkungan. Bahayanya, apa yang tidak hidup bukan lingkungan, padahal sebenarnya semuanya lingkungan. Semua harus dilestarikan,” paparnya saat dikonfirmasi Beritabangsa.com.

Disinggung mengapa menggandeng seniman dan pakai seni, alasannya adalah karena arena seni itu juga lingkungan, kebetulan bertepatan dengan Pantekosta, maka Dalam Pantekosta, Beberapa GKI merayakan dengan warna-warni. Semisal ibadahnya warna-warni, memakai baju Bali, NTT, Ambon, Batak dan sebagainya.

“Ini klop dengan kita. Kami menyuguhkan kepada saudara-saudara. Mendatangkan seniman tidak mudah, sekaligus mengatur seniman juga tidak mudah. Kalau nanti para seniman bisa teratur, woow, berbahagialah dan kita bisa menikmatinya,” tambahnya.

Selanjutnya ia berharap, siapapun yang ambil bagian dalam acara tersebut, Tuhan mengiringi, mendampingi, dan Tuhan menolong, supaya apapun yang ditampilkan menggoreskan banyak kenangan dan menguatkan semuanya untuk sungguh-sungguh memperjuangkan lingkungan.

“Lingkungan yang selama ini kepadanya kami berhutang banyak. Terima kasih ya Tuhan. Penyertaan dan pertolongan sajalah yang mengiringi acara ini. Amin,” tutup Simon.

Acara ini juga menghadirkan tokoh lintas agama se -Surabaya dan Sidoarjo (istilah Pdt Simon sebagai forum beda tapi mesra), yang juga terlibat aktif serta turut menyerahkan bibit pohon/tanaman pada generasi muda sebagai penerus bangsa.

Dikatakan, acara juga diisi dengan Perform Seni Budaya, melibatkan puluhan seniman budayawan Jawa Timur, diantaranya, Desemba Sagita Titahelew, yang melukiskan peristiwa penciptaan alam semesta dalam kanvas besar, diiringi performa simultan dari Budi Palopo penggurit Jawa, Arul Lamando musisi Rebab, Victor musisi Saxophone, Heru musisi Violin & Biola, Puguh musisi Arcodion, Arul musisi Didjeridu, Tribroto menari Jawa, LCH musisi Tambur besar / Barongsai, Marthin Bana (gitar) pemandu nyanyi Lestari Alamku, Dion ukulele, serta sejumlah seniman pendukung lainnya.

Silih berganti mereka menampilkan seni, seiring dengan proses melukis Cak Desemba hingga selesai dalam durasi satu jam. Setelah pamungkas pagelaran seni ditutup dengan menyanyi lagu “Ibu Pertiwi” secara bersama-sama dari semua seniman pendukung.

Acara dilanjutkan dengan penyerahan bibit pohon dan juga biji tanaman, dipimpin Pdt. Simon, 13 perwakilan para sesepuh dan senior mulai dari tokoh lintas agama dan tokoh masyarakat serta gereja, secara bergantian menyerahkan bibit cemara dan biji buah telang kepada generasi muda anak-anak bangsa.

“Ini merupakan simbolisasi bahwa kami orang tua ini telah berhutang banyak pada anak-anak. Bumi ini adalah pinjaman kami dari anak-anak. Kita bersedih karena alam rusak, tapi jangan terus bersedih. Mari kita merawat alam ini supaya tidak terus rusak. Bibit ini nanti dibawa pulang dan ditanam untuk kelestarian lingkungan,” harap Simon.

Acara dilajutkan dengan menyanyikan lagi “Lestari Alamku” oleh semua yang hadir sebagai bentuk pesan moral untuk saling menjaga kelestarian alam yang ada, serta diakhiri dengan tumpengan perjamuan Kasih, yang disediakan untuk semua yang hadir, baik penonton, pengisi acara serta semua unsur pendukung lainnya.

Desemba Sagita Titahelew, penggagas sekaligus sutradara acara menjelaskan bahwa acara ini sebagai bentuk Teater Rupa, yakni proses kreatif melukis pada giant canvas yang akan menggambarkan proses penciptaan alam semesta hingga pengrusakan alam semesta oleh manusia.

Proses ini akan simultan dengan penampilan para penyaji lain secara bergantian dengan total durasi sekitar satu jam. Seniman yang juga Ketua FBS (Forum Budaya Surabaya) tersebut mengharapakan dengan acara ini penonton bisa mengikuti alur proses kreatif para seniman tersebut dari awal hingga akhir dan bisa memahami harapan perform tersebut bahwa pada akhirnya diperlukan seruan bersama untuk menyelamatkan alam semesta.

“Manusia telah banyak melakukan perusakan terhadap alam. Sesuatu yang indah, ketika tangan-tangan itu merusak, maka kekacauan itu terjadi. Ini tidak bisa dilanjutkan. Perusakan itu sesuatu yang tidak baik. Kesadaran untuk menghentikan kerusakan itu harus kita serukan bersama-sama,” terang Cak Desemba.

Hal ini, lanjutnya, bisa diselamatkan dengan menanam bibit pohon agar alam kembali bersahabat dan membawa manfaat pada semuanya.

>>>Ikuti Berita Lainnya di News Google Beritabangsa.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *