BERITABANGSA.ID, JEMBER – Dalam beberapa jam lagi, umat Islam di Indonesia akan memulai ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Berdasarkan hasil Sidang Isbat Rukyatul Hilal, Pemerintah melalui Kementerian Agama telah memutuskan bahwa 1 Ramadan 1446 Hijriah, jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Dalam menyambut bulan suci Ramadan, masyarakat di pulau Jawa mempunyai tradisi ‘Nampani Poso’ yang telah dilaksanakan turun temurun.
Nampani poso berasal dari Bahasa Jawa, yang mana kata ‘nampani’ berasal dari kata ‘nompo’ yang berarti menerima, sedangkan ‘poso’ berarti puasa, sehingga nampani poso berarti menerima puasa. Setiap daerah di pulau Jawa memiliki bentuk acara berbeda-beda sesuai kebiasaannya masing-masing. Meski bentuk acara dalam nampani poso berbeda-beda, sejatinya memiliki kesamaan tujuan yakni penyucian diri dan wujud syukur kepada Allah SWT.
Nampani poso umumnya dilaksanakan pada bulan Sya’ban, bulan sebelum Ramadan dalam kalender Hijriyah.
Masyarakat Kelurahan Jember Lor, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember melaksanakan berbagai acara dalam gelaran nampani poso, mulai dari nyadran hingga pertunjukan sandur relang.
Nyadran Kali Jompo

Istilah nyadran berasal dari bahasa Sanskerta yaitu dari kata “sraddha” yang artinya keyakinan.
Tradisi nyadran ini umumnya berupa kegiatan mendoakan para leluhur, kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari yang telah meninggal dunia. Setelah berdoa, kemudian diakhiri dengan kenduri, atau perjamuan makan.
Masyarakat Kelurahan Jember Lor melaksanakan Nyadran ing Kali Jompo (baca: Nyadran di Sungai Jompo), yang berlokasi di bantaran Kali Jompo, gang Anker, Kreyongan, Kelurahan Jember Lor pada Minggu siang, 23 Februari 2025.
Nyadran Kali Jompo diawali pembacaan macopat pembuka oleh Cak Sid dari Sanggar Omah Wetan. Kemudian dilanjutkan dengan kirab dengan membawa sesaji.
Masyarakat setempat kemudian berkumpul di bantaran Kali Jompo, duduk sama rendah mengikuti dengan khusuk prosesi ritual doa bersama yang dipimpin oleh Abdul Kamid dan Bagus Gozali Wijaya dari Yayasan Puri Asih Mustika Jawa.
Setelahnya, Lurah Jember Lor Budi Satriyo memimpin iring-iringan rombongan turun ke dasar sungai. Mereka melarung sesaji dan sejumlah jenis ikan ke Kali Jompo.
“Saya bersyukur dan menghaturkan terima kasih atas keterlibatan banyak pihak, mulai dari pemuda pemudi Kreyongan, para budayawan, dan banyak lagi pihak lainnya dalam nampani poso ini, sebagai bentuk nguri-uri budaya, sebagai wujud syukur kepada Ilahi, penyucian diri sebelum menjalankan ibadah puasa,” ujar Budi Satriyo, Lurah Jember Lor.
R. Budi Siswanto Wongsodjono dari Yayasan Puri Asih Mustika Jawa menyampaikan, sungai merupakan sumber kehidupan. “Ketika nyadran ini dilakukan dengan sakral untuk menyucikan diri serta lingkungan dalam hal ini sungai, misinya adalah menyadarkan masyarakat bahwa sungai adalah harapan bagi setiap orang, sehingga orang tidak boleh sembarangan memperlakukan sungai, mari kita menjaga kebersihan sungai karena sungai adalah sumber kehidupan,” ajak Budi kepada masyarakat.
Budi menyebut ada beberapa jenis ikan yang turut dilarung ke Kali Jompo. Setiap ikan memiliki simbolisasi masing-masing.
“Salah satu ikan yang dilarung tadi, ikan gabus itu ikan yang tahan berbagai cuaca jadi kondisi banjir maupun kekeringan masih bisa hidup, harapannya ketika kita sedang mengalami kekurangan karena faktor ekonomi, kita tetap bisa bisa seperti ikan gabus yang tahan apapun kondisinya, berafiliasi baik dengan alam,” jelas Budi.
Ziarah Makam Mbah Demang

Usai melaksakan nyadran Kali Jompo, masyarakat Jember Lor melakukan ziarah ke makam Mbah Demang.
Mbah Demang atau Damang Kusuma merupakan tokoh penyebar agama Islam, pembabat pertama wilayah Kabupaten Jember, Jawa Timur. Makamnya berada di wilayah RT 03 RW 12 Kelurahan Jember Lor. Untuk menuju ke makam Mbah Demang, bisa menuju Gang Tugu, Jalan Bungur, Kelurahan Gebang Jember. Di gerbang Gang Tugu sudah ada papan petunjuknya.
Di makam Mbah Demang, masyarakat berdoa bersama, dan kemudian ditutup dengan makan bersama. Tak jauh dari makam, masyarakat menggelar panggung kesenian. Ada pembacaan puisi oleh penyair, Barlean Bagus Aji, kesenian musik glundengan oleh Sanggar Omah Wetan, tari tradisional oleh Sanggar Sembagi Aruntal, Sandur Rellang oleh warga Dusun Mojan Desa Klungkung, dan ditutup dengan penampilan Hadrah oleh ibu-ibu Muslimat RW 12 Kelurahan Jember Lor.
Sandur Relang

Sandur Relang merupakan ritual khusus (ritus) yang dilakukan oleh warga Dusun Mojan, Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember. Ritus ini menurut masyarakat setempat merupakan sarana permohonan kepada Allah SWT agar masyarakat dihindarkan dari segala macam malapetaka musibah (tolak balak).
Donny dari Alit Indonesia yang meneliti ritus Sandur Relang ini menjelaskan, bait-bait yang dinyanyikan dalam Sandur Relang merupakan kata-kata arkais, yang diduga kuat bahasa kawi abad ke 6 masehi.
Sayangnya tidak ada manuskrip dari bait-bait yang dilantunkan dalam ritus Sandur Relang. Bahkan warga yang melakukan ritus ini mengaku tidak mengetahui artinya apa. Mereka melakukan ritus ini atas dasar patuh kepada perintah leluhur, benar-benar dipegang teguh dan tidak berani melanggar.
“Tidak adanya manuskrip dari bait-bait yang dilantunkan dalam ritus Sandur Relang ini membuat kami kesulitan untuk meneliti. Mereka melakukan tapi mereka mengaku tidak tahu artinya. Mereka hanya mengaku diajari oleh orangtuanya lalu menghafalkannya, tanpa tahu tulisannya seperti apa dan artinya apa. Kemudian saya mendapatkan informasi dari warga di sana bahwa Sandur Relang memang tidak boleh ditulis. Kalau generasi awal paham artinya, setelah beberapa generasi ini justru tidak tahu artinya apa, mungkin ada salah satu generasi yang tidak menyampaikan artinya sehingga sampai sekarang mereka tidak tahu artinya apa,” jelas Donny.
Ritus Sandur Relang ini dilakukan dengan cara menari dengan bentuk lingkaran, sambil melantunkan bait-bait mantra. Di daerah asalnya, Dusun Mojan Desa Klungkung, warga yang melakukan ritus Sandur Relang berdiri melingkari sebuah lingga yang berdekatan dengan makam leluhur mereka, yang bernama Buju’ Takah.
Gerakan tarian Sandur Relang ini yakni berputar melawan arah jarum jam. Sama seperti kegiatan tawaf umat muslim yang juga berputar melawan arah jarum jam mengelilingi sebuah Ka’bah dalam ibadah haji.
Untuk diketahui, seluruh acara dalam gelaran nampani poso ini merupakan salah satu rangkaian dari Grebeg Budaya Kampung, yang diorkestrasi secara kolektif oleh para seniman, sejarawan, budayawan serta masyarakat lokal Jember guna melestarikan budaya dan kearifan lokal.