Kategori PDS program, kata Madiono, adalah kondisi meski perusahaan telah mendaftarkan seluruh pekerja dan telah sesuai memberikan data upah karyawannya, perusahaan hanya ikut pada 2 program perlindungan dari 4 program wajib.
“PDS program dan PDS Upah menjadi pelanggaran yang paling lazim dilakukan perusahaan atau pemberi kerja, bahkan untuk perusahaan kategori menengah besar. Kondisi ini sering terjadi lantaran pihak BPJS Ketenagakerjaan tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah upah yang diterima pekerja khususnya pekerja yang menerima upah di bawah UMP/ UMK dan kebijakan dari perusahaan terkait dengan pemberian upah kepada karyawannya,” jelasnya lagi.
Menurut Madiono, pelaporan dari pekerja-lah yang dapat membantu BPJS Ketenagakerjaan untuk mendapatkan informasi data upah yang akurat.
Madiono mengungkapkan melalui aplikasi BPJSTKU, pekerja dapat melaporkan jika ada ketidaksesuaian data upah, ataupun jumlah tenaga kerja.
“Konsekuensi dari pelaporan data upah yang salah, berakibat pada berkurangnya manfaat yang akan diterima oleh peserta, antara lain manfaat Jaminan Hari Tua (JHT), manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan manfaat Jaminan Pensiun (JP),” bebernya.
Sehingga sudah menjadi tanggungjawab perusahaan, jika data yang dilaporkan tidak sesuai, peserta bisa menuntut perusahaan atau pemberi kerja. Hal ini sesuai dengan regulasi yang ada.
Contoh dampak yang signifikan terlihat pada profesi yang memiliki risiko tinggi, seperti pekerja tambang hingga profesi penerbang.
Ketidaksesuaian data upah maupun tenaga kerja berdampak pada besaran manfaat yang akan diterima jika yang bersangkutan mengalami risiko pekerjaan.
Semisalkan, upah (gaji pokok + tunjangan tetap) karyawan PT A sebesar Rp100 juta, sedangkan yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp3,7 juta.