Opini

Fenomena Bias Gender dalam Film ‘Penyalin Cahaya’

795
×

Fenomena Bias Gender dalam Film ‘Penyalin Cahaya’

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ivandanu Yarzuqu *

ISU kesetaraan gender masih mengakar di masyarakat, apalagi terhadap masyarakat yang rentan, terlebih khusus perempuan. Banyak serial atau film yang mengangkat isu bias gender salah satunya film Penyalin Cahaya atau Photocopier karya Wregas Bhanuteja.

Scroll untuk melihat berita

Film dengan genre drama-thriller ini dirilis secara internasional pada Busan International Film Festival (BIFF) pada 8 Oktober 2021 lalu.

Film ini diperankan oleh Shenina Cinnamon, Chicco Kurniawan, Giulio Parengkuan, Lutesha, Jerome Kurniawan, Dea Panendra dan Lukman Sardi ini kemudian ditayangkan di platform Netflix pada 13 Januari 2022.

Secara garis besar, film ini bercerita tentang perjuangan seorang mahasiswi bernama Suryani yang diperankan oleh Shenina Cinnamon yang kerap disapa Sur sedang mencari keadilan atas kasus pelecehan seksual yang menimpa dirinya.

Namun, lika-liku perjuangan tersebut sangat sulit dihadapi oleh Sur, karena pelaku pelecehan seksual, Rama, yang diperankan Giulio Parengkuan adalah seseorang yang keluarganya memiliki kuasa tinggi yang membuat Sur sulit mendapat keadilan sebesar apapun usahanya.

Sur pun dengan terpaksa mengalah dan menyatakan bahwa semua tuduhan yang menimpa dirinya hanyalah fiksi belaka. Alasan Sur juga didasari atas tekanan kedua orang tua Sur yang memilih untuk mengalah dari keluarga Rama, karena tidak mampu untuk melawan dan kurangnya kekuatan karena kesenjangan status sosial di antara keduanya.

Namun, Sur tidak pantang menyerah demi mendapatkan keadilan bagi dirinya. Dengan kegigihannya, ia melakukan tindakan apapun demi mengungkapkan kasus tersebut dengan dibantu oleh Tariq (Jerome Kurnia), dan Farah (Lutesha).

Pada akhirnya mereka dapat mengungkapkan kasus tersebut walau dengan cara lain, yaitu dengan menyebarkan cerita pengalaman pelecehan seksual mereka yang difotokopi kemudian disebarluaskan di sekitar kampus. Ini mendorong semua korban untuk datang dan membantu mengungkap kejahatan Rama, dan akhirnya terungkap.

Jika dilihat dari kacamata komunikasi gender, film ini ingin memberi pesan bahwa terdapat misoginis akibat seksisme dan ideologis. Peran perempuan yang menjadi objek kekerasan seksual dan penghinaan terhadap perempuan cukup membuktikan film ini cukup relevan dengan teori nature pada komunikasi gender.

Namun, jika dilihat dari sudut pandang teori standpoint, berdasarkan hirarki sosial, Suryani tidak dapat melawan situasi yang dialaminya.

(*) Penulis adalah mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id.

>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *