Sebelumnya, Nur Kholiq bersama warga yakni Junaedi, menemuinya dahulu tidak ada pertambangan sebelum musyawarah di desa.
“Gitu loh, namun kesepakatan tersebut rupanya dilanggar, karena sebelum ada permusyawaratan di desa itu, rupanya sudah ada kegiatan pertambangan, sehingga saya berinisiatif untuk menghentikan terlebih dahulu,” imbuhnya.
Kegiatan itu dihentikan warga, karena untuk menghindari konflik masyarakat dengan pihak penambang.
“Kemudian setelah saya berhentikan malamnya, lalu terjadi musyawarah di sana di desa tersebut, pihak dari perwakilan pertambangan tahu sendiri kalau ada penolakan dari warga,” ucapnya.
Sementara itu, menurut Ketua Aliansi Pendekar Lumajang, Achmad Nurhuda, alias Gus Mamak, masyarakat Kabupaten Lumajang lima tahun terakhir bahwa pertambangan itu akibat absolut kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Lumajang.
“Kalau urusan pertambangan di Kabupaten Lumajang sangat ruwet, maka kita akan serius ikut menyelesaikan soal pertambangan yang kian hari kian tambah semerawut,” bebernya.
Mantan Ketua DPC Pemuda Pancasila (PP) Kabupaten Lumajang ini, mengatakan fenomena di atas, dapat terjadi karena lemahnya kontrol sosial dan peran serta masyarakat.
“Sehingga pembangunan hukum nasional dilaksanakan dengan berorientasi untuk mempertahankan status quo dengan mengabaikan esensi dan proses penyelenggaraan negara yang demokratis,” ujarnya.
“Aparat Penegak Hukum (APH) di Kabupaten Lumajang ternyata kurang presisi, tidak sama dengan Slogan Polri Presisi,” imbuhnya.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id