Di lain sisi, jika ada sosok atau orang-orang yang mencoba memberi ruang hiburan inovatif, memunculkan ide anti-mainstream, hal itu secara impulsif disebut sebagai “sok nasionalis”, atau yang lebih kasar lagi: “buzzer pemerintah.”
Tunggu, sebegitunyakah membenci pemerintah yang berkuasa saat ini? Apakah benar secara holistik pemerintahan ini salah? Tidak adakah sebagian atau beberapa hal kecil yang dapat diapresiasi? Yang baik dipuji, yang kurang dirangkul dan disodori saran lagi?
Ruang media sudah sedemikian dahsyatnya otonom. Selama tidak keluar SARA, segalanya sudah diberi jalur. Jikapun terdapat kendala, hanya sekelompok oknum yang menjadi biangnya. Sisanya, banyak masih terbuka.
Berbicara tentang industri hiburan lagi, terutama yang konstruktif, belum lengkap jika tidak menyinggung Deddy Corbuzier. Dengan konten yang menghibur, bahasa merakyat, namun narasumber yang diundang berbakat. Sebenarnya konten Deddy bukan bernapaskan gaya baru – mestinya dapat diapresiasi pemerintah.
Hal yang justru berseberangan ketika perwakilan dari publik itu sendiri yang maaf (tidak bermaksud menyinggung, namun sekadar berpendapat) – bahwa konten Ria Ricis belum seyogyanya patut dimenangkan dalam award baru-baru ini.
Meski begitu, pemberian pangkat Letnan Kolonel Tituler dari TNI AD untuk Deddy tahun lalu boleh juga diperjelas ke publik. Yaitu dalam konteks urgensi perang atau sisi pertahanan seperti apa tokoh yang menerima gelar tersebut dapat bergerak?
Dalam alasan apa seseorang dapat menerima gelar yang disebut sangat mahal ini? Alhasil demi mencapainya, seorang tentara harus menjalani pelatihan bertahun-tahun dahulu.
Frontalitas dari Ibu Dr Connie Rahakundini Bakrie cukup tegas tentang hal ini, misal: apakah dikarenakan jumlah followers Deddy (bantahan: kenapa tidak Atta atau Ria?).