“Per jam mereka digaji Rp10 ribu. Kalau lembur itu hitungan sesuai peraturan yang berlaku, satu jam pertama wajib diupah 1,5 kali dari upah dasar, kemudian jam kedua wajib diupah 2 kali dari upah dasar, dan seterusnya berlipat lagi. Artinya mereka harus menerima Rp15 ribu pada jam pertama lembur. Tapi kenyataannya ini malah pada jam pertama lembur dihitung Rp10 ribu. Kemudian jam ke dua lembur Rp9 ribu per jam dan rata selanjutnya. Itu pelanggaran. Padahal seharusnya upah lembur harus lebih besar, bukan tambah kecil,” bebernya.
Dwiagus mengilustrasikan, jika per jam gaji lembur mereka dihitung rata-rata Rp15 ribu, berarti dalam 5 jam itu Rp75 ribu.
Dalam sebulan terkumpul gaji lembur saja sebesar Rp 1.950.000. Apabila setahun terkumpul Rp23.400.000.
“Kalau sampai 7 tahun sesuai masa kerja salah seorang buruh seperti Ririn, tinggal dikalikan berapa itu. Itu bicara lembur saja, belum THR, belum keterlambatan upah per hari. Ada dendanya bagi perusahaan kalau terlambat bayar upah,” lanjutnya.
Dwiagus juga membeberkan, jika para buruh menolak atau melawan aturan pabrik triplek tersebut, maka mereka akan diganjar surat peringatan yang berujung pada tidak ditunaikannya gaji oleh perusahaan.
“Jadi mereka terpaksa harus ikut lembur dengan upah lembur yang menyalahi aturan berlaku. Belum lagi hari libur, mereka tetap disuruh bekerja. Kalau hari libur disuruh kerja, itu seharusnya dihitung lembur. Tapi yang terjadi mereka diupah seperti hari biasa kerja. Ini sudah salah,” tutup Dwiagus.
Sementara Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Jember melalui Kepala Bidang Hubungan Industrial, Habib Salim, turut serta menengahi permasalahan ini.
“Mereka masih lanjut berunding. Tapi tetap kita kawal sampai mereka bisa saling sepakat semua,” pungkasnya.
Sedangkan pihak PT Muroco tak bersedia diwawancarai awak media pada saat perundingan Bipartit berakhir.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id