Tidak banyak yang mengurus IPP, namun jika sudah terbit IPP dengan bayar kontribusi masuk PNBP jutaan rupiah, membuat Persero TV Kabel menjadi gagah. Dan percaya diri.
Namun, itu tidak lama. Persoalan muncul kembali ketika seteru persero TV kabel di daerah dengan Indovision, milik Hari Tanu Sudibyo. Lagi-lagi pemerintah tidak bisa bersikap memihak persero TV Kabel yang jelas jelas UMKM.
Predikat UMKM yang menyumbang PDRB Nasional dan Jatim seolah tak ada nilainya. Mereka tetap tidak berkutik dan tidak ada yang membela. Pun juga KPID tidak bisa menengahi. Kementerian Kominfo, tidak memiliki regulasi yang mengatur tegas Free to Air. Bagi Indovision, jika persero TV Kabel menyiarkan channel RCTI atau tayangan sepak bola di Free to Air lalu disalurkan ke pelanggan TV Kabel dianggap tetap melanggar hak cipta.
Persoalan kedua, adalah jika persero TV Kabel mengikuti digitalisasi secara penuh maka migrasi dari bentangan kabel Analog yang telah terhampar sekian ribu meter dibuang untuk beli lagi kabel Fiber Optic dengan 24 core, berapa cost yang harus diinvestasikan. Lalu jika dihitung produksi maka pelanggan TV Kabel yang ada di pinggiran gunung di wilayah blank spot area itu berapa harus ditarif ?
Dilema yang tidak ada yang bisa dipilih. Pun juga tidak ada solusi. Lagi-lagi Pemerintah bersama DPR RI hanya memikirkan bagaimana pelanggan yang berada di blank spot area saja. Tanpa memikirkan pengusaha TV Kabel. Adakah yang berpikir solusi?
Blank Spot Area. Anda bisa membayangkan mereka yang tinggal di kawasan itu. Mereka otomatis tidak akan bisa dijangkau TV Nasional kembali. STB yang dibagikan ke masyarakat, sudah sampai mana.
Untuk siapa ? Dan masyarakat yang daerah mana yang dapat? Ini menjadi pertanyaan krusial yang harus didengar DPR RI.
