Oleh: Dwi Prastyo*
Lebaran telah usai. Arus balik mereda, jadwal kerja kembali normal, dan aroma opor di meja makan mulai tergantikan oleh bau beras yang diukur secukupnya. Momen sakral yang meriah itu berakhir seperti biasanya: dengan kesunyian dompet yang menyempit dan kecemasan yang perlahan datang menghampiri.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Ramadan dan Idulfitri menjadi ruang pelarian bagi banyak orang. Pelarian dari rutinitas, dari kekangan, sekaligus dari realitas. Sebulan penuh belanja naik, jalanan macet, warung ramai, dan uang berputar. Tapi seperti pasir yang mengalir lewat jari, semua itu cepat menghilang, menyisakan satu pertanyaan klasik: “Setelah ini, bagaimana?”
Tahun ini, perputaran uang selama Ramadan dan Lebaran diperkirakan lebih dari seribu triliun rupiah. Tapi angka itu tak mampu menyembunyikan fakta bahwa pertumbuhan konsumsi melambat. Bukan karena masyarakat menjadi hemat, tapi karena mereka terpaksa menahan diri. Upah yang stagnan, PHK yang meningkat, dan beban hidup yang terus naik membuat banyak keluarga harus memilih: ikut merayakan, atau bertahan?
Di balik kemeriahan, ada yang meminjam demi membeli tiket mudik. Ada pula yang terpaksa menjual barang untuk bisa belanja baju baru anaknya. Tahun ini, jumlah pemudik justru menurun signifikan. Bukan hanya karena mahalnya ongkos, tapi karena banyak yang memang tak sanggup lagi pulang. Narasi “mudik adalah pulang ke akar” berubah jadi “mudik adalah kemewahan”.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah beban ekonomi yang datang segera setelah Lebaran: harga bahan pokok tak kunjung turun dengan saat yang sama, lapangan kerja formal makin menyusut. PHK demi efisiensi perusahaan makin umum. Banyak lulusan baru harus berebut pekerjaan yang tak kunjung bertambah, sementara para pekerja lama dipaksa menerima kondisi kerja yang makin menekan.
Sektor informal kembali menjadi penyelamat. Tapi seberapa lama ia bisa bertahan? Penjual makanan kaki lima, ojek daring, pedagang online skala rumahan—semuanya hidup dalam ketidakpastian. Mereka tidak punya jaminan kesehatan, tak punya upah minimum, dan seringkali bergantung pada algoritma dan keberuntungan.
Di sisi lain, UMKM yang selama ini disebut tulang punggung ekonomi justru ditinggalkan sendirian menghadapi pasar yang makin kejam. Produk luar negeri masuk tanpa filter, platform digital besar menentukan harga dan distribusi. Negara seperti berdiri di pinggir lapangan, menjadi penonton, kadang memberi semangat, tapi jarang benar-benar turun tangan.
Barangkali kita perlu bertanya ulang: apa arti “kemenangan” yang kita rayakan? Bila setiap habis Lebaran rakyat justru jatuh ke lubang hutang, bila tiap tahun kelas menengah makin tergerus, bila perayaan justru makin memperlebar jurang, lalu siapa yang benar-benar menang?
Pemerintah memang tak bisa menyulap semua dalam semalam. Tapi ada banyak yang bisa dimulai: menurunkan beban fiskal rakyat kecil, melindungi produsen lokal, memperluas lapangan kerja formal, memberi insentif pada sektor riil daripada terus mengandalkan konsumsi jangka pendek. Karena jika ekonomi terus disandarkan pada momen musiman, maka yang kita bangun bukan daya tahan, melainkan ilusi.
(*) Penulis adalah wartawan beritabangsa.id
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id