BERITABANGSA.ID, SURABAYA – Di era digital, fenomena stalking kini mendapat sorotan serius. Terbaru, fenomena stalker ini berujung pada cyber harassment. Tidak hanya menimbulkan konsekuensi psikologis pada korban, pelaku juga perlu perhatian psikologis.
Tindakan stalking yang kerap dianggap sepele memiliki kompleksitas psikologis dan konsekuensi serius. Dr Tri Kurniati Ambarini M Psi Psikolog, Pakar Psikopatologi Universitas Airlangga (Unair), turut menyoroti maraknya kasus stalker.
Tri menerangkan bahwa proses evolusi dari obsesi menjadi stalker melibatkan beberapa tahapan psikologis.
Ia menyebutkan bahwa stalking merupakan salah satu cara untuk menurunkan kecemasan pada pelaku.
“Biasanya stalking menjadi salah satu cara orang tersebut untuk menurunkan kecemasan. Ini dikarenakan pikiran yang terpaku terus menerus pada objek stalking sebagai bentuk kompulsi,” jelasnya.
“Selanjutnya, perilaku obsesi ini akan berkembang ke fase pencarian informasi tentang target. Ketika pelaku telah mendapatkannya, biasanya pelaku akan mulai mengontak dan mengganggu target, bahkan cenderung mengontrol interaksi target,” imbuh Tri.
Tri menerangkan, tindakan stalking disebabkan oleh masalah mental yang serius. Menurutnya, stalker mungkin mengalami kecemasan, depresi, atau isolasi sosial karena perilaku mereka yang tidak diinginkan.
Tri juga menambahkan, stalker kemungkinan berkaitan dengan gangguan mental.
“Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, gangguan kepribadian paranoid, atau gangguan kepribadian antisosial bisa menjadi faktor yang mendorong seseorang menjadi stalker,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Tri menilai perilaku stalker dapat merusak hubungan personal atau profesional. Hal ini dikarenakan ketakutan dan ketidaknyamanan yang dialami oleh korban.