Oleh : Sulaisi Abdurazaq *
Milenialis seperti saya, tak punya wawasan komprehensif tentang tragedi Gerakan September 30 (Gestapu) atau Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok) atau G-30-S/PKI 1965. Karena kaum milenial baru lahir di tahun 1980-an.
Wawasan Gestapu hanya diketahui dari film-film yang disuguhkan pemerintah Orde Baru.
Dari buku-buku seperti:
Kitab Merah, Kumpulan Kisah-Kisah Tokoh G30S/PKI, yang bersumber dari Majalah Tempo.
Buku Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966) karya Hermawan Sulistyo.
Begitu pula buku Banjir Darah, Kisah Nyata Aksi PKI terhadap Kiai, Santri dan Kaum Muslimin karya Anab Afifi-Thowaf Zuharon.
Saya mencoba membaca ulang tragedi kelam itu.
Terlepas dari teka teki yang cukup rumit: apakah Gestapu terjadi karena design politik Soeharto/konflik internal ABRI?
Apakah terdapat keterlibatan Bung Karno? Ataukah murni kebiadaban PKI?
Lepas dari semua itu, yang menarik perhatian saya adalah: Benarkah eksekutor Tjakrabirawa yang menculik para jenderal adalah “Madura Connection?”
Benedict Anderson yang menemukan indikasi bahwa eksekutor lapangan Tjakrabirawa adalah komunitas Madura.
Anderson adalah seorang Indonesianis dari Universitas Cornell. Dalam pertemuannya dengan Bongkoes menemukan pengakuan bahwa salah satu pelaku tragedi Gestapu itu berdarah Madura.