Padahal, menurut pandangan mereka, perumusan kesimpulan tersebut semestinya mengacu pada kaidah medis yang netral, bukan terpengaruh oleh kepentingan penyidikan.
Selain itu, pengacara juga mengungkapkan bahwa mereka tidak diberi akses terhadap laporan lengkap hasil otopsi yang menjadi dasar penetapan tersangka terhadap kliennya.
Mereka hanya diperlihatkan dokumen tersebut secara terbatas oleh penyidik, yang memperkuat kecurigaan atas ketidakwajaran dalam proses hukum maupun medis.
Dalam laporan resminya, firma hukum tersebut meminta MKEK IDI Jatim agar melakukan pemeriksaan terhadap integritas profesional teradu, sekaligus melakukan audit terhadap kesimpulan forensik yang dianggap bermasalah.
Langkah ini dianggap penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan praktik kedokteran forensik tidak disalahgunakan sebagai instrumen justifikasi hukum yang tidak adil.
Sulaisi menegaskan bahwa aduannya tidak bermaksud mengintervensi proses hukum, melainkan untuk menjaga marwah etik profesi medis dan mencegah preseden buruk dalam praktik kedokteran forensik.
Ia menilai bahwa profesionalisme dokter harus tetap berpijak pada prinsip ilmiah dan independensi, bukan pada tekanan eksternal atau kepentingan lain di luar kerangka etik.
Sampai saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak RS Bhayangkara maupun dari dr Tutik Purwanti terkait laporan ini. MKEK IDI Jatim juga belum mengonfirmasi apakah laporan tersebut telah masuk dalam agenda pemeriksaan.
Kasus ini mendapat sorotan publik karena menyentuh aspek penting dalam pertemuan antara dunia medis dan hukum pidana.
Akurasi dan objektivitas dalam laporan forensik dinilai sangat menentukan dalam proses peradilan, dan apabila terjadi kekeliruan atau pelanggaran etik, maka dampaknya akan sangat besar terhadap nasib hukum seseorang.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id.
