Tulisan ini tidak akan mendalami soal metafisiknya, tetapi mencoba untuk mengurai anatomi kekuasaan pemerintahan yang dirasakan masyarakat kok semakin tidak amanah.
Kekuasaan pemerintahan tidak lekang dari eksistensi oligarkhi yang telah menjadi bagian (built-in) dari sistem pemerintahan di berbagai negara sejak zaman kuno. Dalam sejarah, oligarkhi pertama kali muncul di Athena pada abad ke-5 SM. Sistem ini kemudian berkembang dan bertransformasi seiring waktu, dengan berbagai bentuk dan manifestasi.
Dalam konteks modern, oligarkhi mulai menjadi trend pemerintahan di dunia pada akhir abad ke-20, terutama setelah runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin. Pada masa itu, banyak negara yang beralih dari sistem sosialis atau komunis ke sistem kapitalis dan demokrasi, yang membuka peluang bagi kelompok-kelompok elit untuk mengambil alih kekuasaan dan menguasai sumber daya ekonomi.
Untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan dalam negara dengan label demokratis, konsekuensinya mereka harus membangun konspirasi (tentu melalui koalisi-aliansi) – kita sebut saja “komplotan”-, dan punya kompetensi kemunafikan yang memadai dari para penguasanya ketika menghadapi tuntutan demokrasi rakyat. Komplotan ini harus bisa saling ‘memuaskan’ tiga pihak (tiga tuan): rakyat, oligarkhi dan diri sendiri.
Karakter sistem kekuasaan yang sah tapi kurang legitimate, disertai hegemoni bisnis oligarkhi dan kewajiban meng-update kemunafikan sesuai dengan naik-turunnya mood rakyat, pada gilirannya akan membuka peluang ancaman pengkhianatan terus menerus karena komplotan berisi individu-individu yang bukannya tanpa ambisi dan kerakusan.
Maka ujung dari pada karakter kekuasaan yang demikian adalah kejatuhan dan kehancuran. Tentang itulah artikel ini diberi judul “From Power to Dust” (Dari Kekuatan Menjadi Debu).
Menuju Debu
Betapapun besar kekuatan kekuasaan serta pengaruhnya, niscaya berakhir dengan tidak terelakkan, itu keyakinan para filsuf kuno maupun modern. Aristoteles dalam karyanya “Politik” tentang konsep “Tyrannis”; Plato dalam karyanya “Republik” tentang konsep keadilan; Konfusius dalam karyanya “Lunyu” tentang konsep “Ren” (kebaikan); Friedrich Nietzsche dalam karyanya “Jenseits von Gut und Böse”, juga Jean-Paul Sartre dalam karyanya “L’Être et le Néant, kesemuanya menasihati, dan memberi peringatan keras bahwa kekuasaan yang sah tetapi kurang legitimate, serta munafik karena mengabdi kepada “tiga tuan”, akan berakhir dengan kehancuran bahkan kehinaan, apapun skenarionya, baik secara politis, ekonomis, atau sosial.
Kekuasaan yang sah tetapi tidak legitimate dan menjadi instrumen oligarkhi akan melukai hati rakyat karena merasa tidak ada keadilan dan dalam jangka waktu tertentu akan memicu kemarahan rakyat, didukung secara brutal para korban secara kolektif dalam suatu balas dendam nan kejam.