Opini

Dari Kekuatan Menjadi Debu

27
×

Dari Kekuatan Menjadi Debu

Sebarkan artikel ini

Oleh: Hadi Prasetya*

Disclaimer: Tulisan ini merupakan analisis untuk bisa memahami makna kehidupan yang makin digempur habis oleh narasi politik dari segala penjuru.

Proloog
Di tengah penderitaan rakyat yang mengalami kemiskinan kronis, banyak yang tamatan sekolah dasar, diterpa PHK beruntun, bahkan jutaan golongan menengah yang turun kelas, justru kita disuguhi fakta korupsi yang “woow banget”, disela-sela berita persaingan kekuasaan politik saling sandera (secara telanjang bulat).

Kekuasaan politik yang penuh noda koruptif bisa saja sah menurut konstitusi, tetapi belum tentu punya sufficient legitimacy (pengakuan tulus terhadap apa yang dipilihnya) berdasarkan ‘honest vote’ faktual dari masyarakat, karena intervensi money politic dan abuse of power dalam proses demokrasi.

Itulah ironi kehidupan suatu negara yang sistem demokrasinya masih permukaan dan baru jadi sekedar label gengsi; tempat si-culas, si-congkak dan si-rakus, berwajah lugu sebagai topeng seringai kemunafikan, dan terus mengibarkan bendera kemenangan dan kejayaan atas nama dalil konstitusional dan supremasi hukum, didukung komplotannya sebagai oknum yang ditugaskan mempunyai otoritas hukum, tanpa kenal conflict of interest.Supremasi hukum yang penuh toleransi dan keberpihakan.

Seberapa Kuat Bertahan?

Tapi memangnya seberapa kuatkah sebuah kekuasaan (munafiqun) bisa bertahan dan immortal (abadi) seperti vampir? Tidak ada satu ajaran agama manapun yang mengijinkan kekuasaan munafik apalagi untuk menutupi keculasan, kecongkakan dan kerakusan. Bahwa Sang Khalik pada saatnya akan “menggebuk habis” orang-orang dengan model seperti itu; adalah suatu keniscayaan.

Lalu dari mana datangnya ambisi, sifat dan sikap itu? Dalam tradisi mereka yang percaya per-dukunan, tentu ada drama metafisik jahat, dari gunung-gunung, lembah-lembah dan hutan rimba, yang dijadikan andalan oknum-oknum kekuasaan untuk berusaha punya kekuasaan immortal secara dinasti turun temurun.

Misal kalau ada orang memakai mahkota raja (tapi bukan raja) dalam proses politik, bisa jadi itu ritual mistik. Silahkan saja disangkal bahwa itu penghormatan budaya, tapi tradisi kemitraan oknum pejabat dan dukun (atau orang pinter kata orang Jawa) sudah berlangsung berabad-abad. Masak harus ikut narasi sok blo’on: “Silahkan buktikan secara hukum!

>>> Ikuti saluran whatsapp beritabangsa.id
Example 468x60Example 468x60Example 468x60 Example 468x60