Oleh : Hadi Prasetya*
Pandemi sejak 2020 berakhir pada Desember 2022 (walau di Januari-Pebruari 2023 masih ada ancaman virus omicron), dan sejak itu perekonomian nasional berangsur membaik walau sangat lambat.
Sialnya, sejak saat itu pula proses politik di Indonesia buat situasi panas dinamis menuju suksesi di Oktober 2024.
Perhatian Pemerintahan (eksekutif-legislatif) banyak terserap pada event suksesi tersebut, sedang yudikatif sibuk dengan persoalan pidana-perdata yang ruwet, bahkan ada oknum-oknum penegak hukum jabatan tinggi yang terlibat.
Di tingkat masyarakat pengusaha, situasi perbisnisan terasa belum menentu, ragu-ragu dan trauma, termasuk lebih memilih sembunyi karena bukan rahasia lagi jika di masa persaingan politik ada sumbangan-sumbangan (tentu bukan amal yang berpahala). Ditingkat masyarakat yang punya pekerjaan musiman pemilu (maksudnya ormas dadakan yang dukung calon politisi dan partai) ini masa anugerah rejeki; semakin bersirkus-ria semakin banyak rejeki datang. Sedang masyarakat kecil dan biasa, tetap tekun mencari nafkah diantara gerojokan “hujan rejeki” -seperti siaran BMKG- “rejeki tidak merata.”
Di sebuah warung kopi, beberapa orang lagi curhat, mewakili perasaan dan pendapat kelompok-kelompok masyarakat yang masih kembang kempis ekonominya serta masa depan yang masih saja buram. Tentang apa curhat mereka? Ternyata tentang banyaknya PHK.
Konon sejak 2023 ada sekitar 64.855 orang terkena PHK dan di tahun 2024 jumlahnya meningkat menjadi 77.965 orang terkena PHK. Lalu di Pebruari 2025 Sritex mem-PHK sekitar 3.000 pekerjanya. Belum lagi banyak Gen Z yang belum dapat kerja dan #MauKaburSaja.
Curhatan orang-orang kecil di warung kopi itu sangat sederhana: “Masak sich Pemerintah tidak bisa mengatasi kemelut PHK ini? Saya yang sedang nongkrong minum kopi tubruk jadi merenung sambil nguping, berkontemplasi ria. Ya maklum karena pensiunan, bisanya cuma bersimpati dan berempati walau tanpa daya…