Pertama, bahwasanya proses persidangan adalah bagian tak terpisahkan dari pendidikan politik. Di mana inti dari demokrasi, pendidikan politik menjadi tonggak utama untuk meningkatkan kualitas Pemilu.
Maka dari itu, proses persidangan sebagai pendidikan politik menuntut adanya kearifan dari masyarakat sebagai pemilih. Agar supaya, pengalaman tersebut bisa dijadikan pengetahuan tentang hakikat berdemokrasi.
Kedua, dengan proses persidangan di MK tersebut, maka siapa pun yang merasa dirugikan dengan hasil Pilkada. Bisa mengadu untuk mendapatkan kepastian hukum atas sengketa yang terjadi.
Walaupun pada akhirnya harus ada pihak yang merasa tidak puas. Putusan MK tidak bisa diganggu gugat lagi. Masyarakat maupun paslon harus menerima hasil dari putusan tersebut.
Apalagi dalam konteks hukum Pemilu, putusan MK menjadi akhir dari proses konstitusional mengenai hasil Pemilu. Tidak ada upaya hukum apapun yang bisa ditempuh untuk membatalkan atau mengoreksi putusan tersebut.
UUD 1945 secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, yang putusannya bersifat final. Salah satunya adalah putusan mengenai perselisihan hasil Pemilu (pasal 24C ayat 1).
Putusan MK akan menjadi satu-satunya putusan terakhir yang memperkuat legitimasi hasil Pemilu. Maka siapa pun harus menerima dan melaksanakan putusan MK dengan cara-cara yang konstitusional.
Dengan demikian, semoga aksi-aksi politik yang inkonstitusional tidak terjadi. Sehingga penghormatan atas hukum, dan penghargaan atas proses demokrasi tidak tercederai.
Merajut Yang Terberai
Pernyataan pengamat politik Burhanuddin Muhtadi, dalam tulisannya di Media Indonesia pada 11 Agustus 2014 dengan judul : (MK, Mantra Kecurangan, dan Opini Publik), menarik untuk kembali dibaca.
Tulisan tersebut mengulas terkait gugatan hasil Pilpres 2014, yang dilakukan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto – Hatta Rajasa ke Mahkamah Konstitusi.