Oleh : Habibullah*
“Demokrasi bukan hanya membutuhkan pemenang yang baik, yang bisa merangkul pihak yang kalah, tapi juga memerlukan pecundang yang baik, yang sportif dan menerima kekalahan dengan legawa” (Burhanuddin Muhtadi)
Putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilkada Kota Blitar beberapa waktu yang lalu, seperti menjadi akhir dari bertumpunya harapan dan ratapan bagi kedua kubu.
Majlis hakim memutuskan menolak gugatan Bambang Rianto dan Bayu Setyo Dwi Kuncoro atas hasil pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Blitar 2024 yang dimenangkan oleh M Syauqul Muhibbin dan Elim Tyu Samba.
Bagi kubu pemenang, ditolaknya gugatan tersebut tentu menjadi puncak dari pengharapan untuk selanjutnya segera mengabdi dan mewujudkan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat Kota Blitar lima tahun ke depan.
Sebaliknya bagi kubu yang kalah, putusan MK tersebut seperti menjadi ratapan pilu dari sebuah perjuangan dan harapan karena harus menghadapi kekalahan secara bertubi-tubi.
Kalahnya kubu penggugat, seperti mengekalkan apa yang kerap dikata orang-orang. Yakni, sudah jatuh ketiban tangga pula. Sudah kalah suara, kalah gugatan pula.
Namun terlepas dari itu semua, paslon penggugat beserta tim dan pendukungnya, harus bisa menjadikan ini sebagai pembelajaran politik dan hukum secara bijaksana.
Sehingga tidak ada lagi sengketa dan kubu-kubuan antar kedua Paslon dan pendukungnya. Sebagaimana diketahui bersama, betapa panasnya perhelatan Pilkada kemarin.
Menerima Putusan
Di mana pun sudah jelas dan pasti, bahwa yang namanya pemenang hanyalah satu. Maka putusan tersebut harus diterima. Entah manis, entah pahit. Yang jelas, itulah puncaknya.
Selain itu, masyarakat Kota Blitar harus bisa menjadikan sengketa Pilkada lalu. Serta proses peradilan yang terjadi di MK, sebagai sarana pembelajaran untuk beberapa hal yang tentunya sangat signifikan.