Oleh: Moch Eksan*
Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada posisi dilematis dalam menghadapi kasus Miftah Maulana Habiburrahman dan Sunhaji. Kasus candaan Gus Miftah kepada penjual teh yang dinilai merendahkan. Kata “goblok” yang disematkan pada Sunhaji dianggap menghina oleh banyak kalangan.
“Es tehmu Sik akeh nggak? Masih? Ya udah dijual lah goblok”, teriak Gus Miftah kepada penjual es teh keliling di tengah jamaah pengajian. Candaan ini membuat para tokoh di atas panggung dan para jamaah tertawa terpingkal pingkal. Potongan video ini kemudian menyulut kemarahan publik.
Banyak komentar nitizen melihat bahwa tak pantas seorang dai sekaligus pejabat negara memperlakukan wong cilik yang sedang mencari nafkah sedemikian rendah.
Pasca video Gus Miftah itu viral, bermunculan desakan publik untuk meminta maaf dan mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Semua desakan tersebut dipenuhi oleh Gus Miftah. Ini benar-benar teh pahit bagi Gus Miftah lantaran sabgul lisan (salah ucap) yang melukai perasaan rakyat kecil.
Sementara, Sunhaji justru kebanjiran simpati dari khalayak ramai. Banyak yang memberi bantuan modal uang, beasiswa bagi anaknya, hadiah rumah, dan paket umroh sekeluarga. Ini nyata-nyata teh manis bagi Sunhaji lantaran diledek justru banyak menerima rezeki tak disangka-sangka.
Sekilas persoalan Gus Miftah dan Sunhanji adalah candaan yang remeh temeh. Tetapi sesungguhnya, hal ini menyangkut interrelasi antara ulama dan umat, serta antara pemimpin, pejabat dan rakyat. Bagaimana agama dan konstitusi mengatur hubungan tersebut.
Gus Miftah itu ulama yang memiliki peran penting dan strategis dalam agama. Ulama itu berperan sebagai pengawal akidah dan akhlak Umat, pemersatu umat, pelopor dakwah, penyebar ilmu agama, dan panutan umat.