Oleh : Habibullah*
Tinggal menghitung hari, masyarakat Kota Blitar akan memilih pemimpinnya sebagai wali kota dan wakil wali kota pada 27 November 2024.
Berbicara tentang kepemimpinan di Kota Blitar, maka yang muncul tentu tentang hegemoni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai penguasa wilayah.
Asumsi demikian bukan untuk mengagungkan Parpol banteng bermoncong putih, lalu menafikan keberadaan peran dan pengaruh ideologi partai yang lain.
Akan tetapi, catatan sejarah menunjukkan bagaimana hegemoni partai besutan trah Soekarno ini mampu berkuasa dalam setiap proses politik di Kota Blitar.
Dengan demikian, maka harus diakui bahwa ideologisasi dan politik yang dibangun mampu membentuk fanatisme masyarakat untuk memilih dalam setiap momentum Pemilu.
Maka tidak mengherankan bila atmosfer politik di kota ini sudah menarik perhatian sejak dari awal. Baik itu dari manover politik, sampai opini yang dibangun untuk mewujudkan calon tunggal.
Namun di tengah perjalanan, partai dengan simbol bintang sembilan mengelilingi bumi (PKB) mungusung calon terbaiknya untuk melawan partai penguasa wilayah (PDIP).
Sebagaimana diketahui, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusung M Syauqul Muhibbin yang akhirnya berpasangan dengan Elim Tyu Samba.
Sedangkan dari PDIP sebagai penguasa wilayah, mengusung Bambang Rianto berpasangan dengan kader terbaiknya yang bernama Bayu Setyo Kuncoro.
Seiring dengan semakin dekatnya waktu pemilihan umum, kedua pasangan calon terus bergerak penuh daya dan upaya untuk mewujudkan kemenangan.
Semua terus unjuk gigi, baik melalui panggung debat, sarasehan, blusukan, jalan sehat, nobar timnas, sampai kampanye akbar sebagai puncak menakar kekuatan.
Tentunya juga dengan berbagai manuver yang dilakukan, para pemilih mestinya sudah bisa menilai dan memilah. Kepada siapa akhirnya suara dan pilihannya akan dan harus dilabuhkan.