Data perbandingan di atas, semakin menegaskan bahwa elektabilitas Prabowo di atas elektabilitas Partai Gerindra. Sehingga keliru, apabila kampanye memenangkan Prabowo dengan mewajibkan memenangkan Partai Gerindra.
Data perbandingan itu juga mengkonfirmasi bahwa Prabowo lebih besar dari Gerindra. Ia adalah sosok pemimpin lintas partai yang mewakafkan diri bekerja untuk rakyat. Ia sudah selesai dengan dirinya. Mimpinya menjadi presiden merupakan jembatan emas cita-cita pendiri bangsa dengan The Indonesian Paradox dari kehidupan rakyat.
Pidato Prabowo pada saat Konvensi Calon Presiden Partai Golkar pada 2004 dengan pidato perdana sebagai Presiden Republik Indonesia ke-8, bertema besar yang sama. Soal pemerintah yang bersih, swasembada pangan, keberpihakan pada rakyat kecil dan seterusnya.
Alhasil, jatuh bangun Prabowo meraih kekuasaan memberikan banyak inspirasi berbagai kalangan, baik bagi anggota militer, pengusaha maupun politisi. Antara lain:
Pertama, Prabowo itu pengejar mimpi yang setia. Ia tak pernah berpaling dari cita besar yang diinginkan sejak remaja sampai tua. Tak kurang 54 tahun, ia berusaha setapak demi setapak untuk meraih mimpi. Walau terkadang dalam episode hidupnya, ia menghadapi kenyataan hidup terpental dari jalur lintasan ke jalur lintasan hidup lain.
Kedua, betapa pun kenyataan hidup sangat pahit: dipecat, ditolak dan kalah, Prabowo tetap menjaga dan memelihara cita-cita besarnya. Ia selalu punya alasan untuk bangkit dari keterpurukan. Sembari memegang teguh keyakinan rakyat suatu saat akan memberikan mandat.
Ketiga, niat baik belum tentu disikapi dengan baik. Bahkan tak jarang nilai baik diartikan buruk oleh orang lain. Prabowo menghadapi kondisi seperti itu dengan ikhlas dan sabar. Waktulah yang akhirnya membuktikan niat baik itu adalah baik setelah melalui purbasangka dan fitnah yang merajarela.
Keempat, kecintaan pada Tanah Air di atas ambisi kuasa. Prabowo meraih jabatan presiden tetap setia di atas jalan demokrasi dan konstitusi. Jalan yang disediakan rakyat bagi anak bangsa yang ingin menjadi pemimpin negara.
Kelima, pengkhianatan di politik adalah persahabatan yang tertunda. Seorang politisi tak perlu memelihara amarah dan dendam. Jokowi-Prabowo adalah contoh putra terbaik bangsa yang pernah menjadi lawan seteru Pilpres dalam suatu waktu, tapi juga teman sekutu Pilpres pada waktu yang lain. Benar kata pepatah, tiada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan.
Keenam, kekuasaan merupakan wahyu keprabon atas ijin rakyat. Wahyu itu mitos sekaligus realitas yang membutuhkan energi yang berlipat ganda, hatta energi orang yang mendhalimi sekalipun. Energi musuh tak kalah penting dari energi sahabat. Pada saat para musuh bergabung, Tuhan sedang menyiapkan mahkota kekuasaan bagi yang bersangkutan.
Ketujuh, kepercayaan rakyat adalah cermin kepercayaan Tuhan. Sementara kepercayaan itu sendiri adalah hasil akumulatif dan agregatif dari usaha yang tak mengenal lelah dan pamrih. Prabowo presiden bukan sekali jadi. Akan tetapi, doa dan ikhtiar diri, keluarga, sahabat, handaitolan, dan rakyat yang bersimpati yang menggoncang bumi dan langit.
Kedelapan, nama dan reputasi yang baik merupakan warisan orang yang paling berharga melebihi kekuasan dan harta benda. Prabowo ingin meninggalkan wong cilik gemuyuh yang menjadi fondasi dari Indonesia yang kuat, hebat dan maju. Kecintaan pada rakyat kecil merupakan wujud dari kecintaan pada Tanah Air.
(*) Penulis adalah Pendiri Eksan Institute dan mantan Legislator Jatim
- Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id