Di era reformasi, justru demokrasi yang ditentang oleh Prabowo pada era rezim militer, membuka jalan terbuka bagi siapa pun untuk menjadi presiden. Termasuk bagi Prabowo sendiri dengan terjun ke dunia politik.
Tak butuh waktu yang lama, Prabowo segera menyadari bahwa desakan publik begitu kuat untuk menghapus dwifungsi ABRI. Di berbagai belahan dunia, kepemimpinan militer di bawah supremasi sipil sehingga TNI dikembalikan ke barak sebagai kekuatan ketahanan an sich.
Untuk meraih mimpi menjadi presiden, Prabowo mau tidak mau harus memutar haluan, terjun penuh pada dunia politik. Ini satu-satunya jalan yang tersedia secara konstitusional untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Prabowo akhirnya memutuskan ikut konvensi calon presiden partai Golkar. Konvensi itu seperti pre election di Amerika Serikat dalam rekrutmen kepemimpinan nasional. Konvensi diikuti oleh para tokoh nasional. Ada Akbar Tandjung, Wiranto, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Prabowo sendiri.
Konvensi ini dilaksanakan pada 21 April 2004 di Jakarta Convention Center. Yang hadir pada acara yang sangat bersejarah tersebut, para pimpinan partai dari berbagai tingkat, mulai dari pusat, propinsi sampai kabupaten/kota.
Proses konvensi ini berlangsung dua kali putaran. Pemilihan pada putaran pertama diikuti oleh Akbar Tandjung (147 suara), Wiranto (137 suara), Aburizal Bakrie (118 suara), Surya Paloh (77 suara), dan Prabowo (39 suara).
Oleh karena tak ada satu pun kandidat calon presiden yang memperoleh 50 persen plus satu sekitar 274 suara, maka kandidat calon yang memperoleh suara terbanyak satu dan dua, maju pada pemilihan putaran kedua.
Akbar Tandjung vs Wiranto bertarung kembali untuk merebutkan suara peserta konvensi. Hasil pemungutan suara dimenangkan oleh Wiranto dengan 274 suara. Sedangkan Akbar Tandjung harus puas dengan 227 suara. Sehingga dengan demikian, Wiranto yang ditetapkan sebagai calon presiden oleh partai Golkar pada Pilpres 2004.
Sampai saat ini, belum ada konfirmasi dari Prabowo atau tim, 39 suaranya pada putaran kedua diarahkan pada salah satu atau dibiarkan menjatuhkan pilihan sendiri. Yang pasti, ia dihadapkan pada kenyataan pahit perolehan suaranya di nomor paling buncit sampai ia tak bisa mendapatkan tiket untuk maju pada Pilpres 2004.
Atas kenyataan tersebut, Prabowo harus mendirikan partai politik untuk maju menjadi kandidat calon presiden. Partai Golkar yang menjadi kendaraan politik keluarga Cendana telah berubah sama sekali. Untuk eksis, ia harus mendirikan partai seperti teman seperjuangannya di militer.