Selanjutnya, keluarga Soemitro mengembara ke Malaysia, Swiss dan Inggris. Di negara pelarian tersebut, Prabowo kecil menempuh pendidikan menengah pertama dan akhir di Victoria Institute Malaysia (1962-1964), Zurich Internasional School Swiss (1964-1966), dan The American School In London Inggris (1966-1968).
Berkat berpindah-pindah negara, Prabowo menguasai banyak bahasa asing, seperti Inggris, Prancis, Jerman dan Belanda. Disamping, jaringan internasionalnya kuat.
Jadi, Prabowo menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di luar negeri. Baru pendidikan pra sekolah dan pendidikan tinggi di Indonesia. Ia tercatat sebagai siswa TK Sekolah Sumbangsih Jakarta (1956-1957), dan taruna militer di Akmil Magelang (1970-1974).
Masa-masa pelarian ini merupakan saat-saat yang berat bagi Soemitro sekeluarga. Padahal, ayahnya begawan ekonomi yang sangat dibutuhkan oleh ekonomi Indonesia. Namun, karena perbedaan faham ekonomi dengan rezim penguasa, ayahnya difitnah korupsi untuk menggalang dana kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada Pemilu 1955.
Puncak perselisihan Soemitro-Soekarno, ayahnya mendukung perlawanan politis tokoh-tokoh Islam modernis, seperti Muhammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, terhadap pemerintahan yang kekiri-kirian.
Atas tuduhan keterlibatan pada PRRI/Permesta, Partai Masyumi dan PSI dibubarkan oleh Bung Karno pada 1960. Para tokoh dua partai ini ditangkap dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan makar.
Ini ongkos politis yang harus dibayar oleh partai dan tokoh yang kritis terhadap demokrasi terpimpin ala Orde Lama yang membubarkan parlemen hasil Pemilu 1955.
Kebijakan tangan besi Bung Karno dalam membangun narasi Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) sebagai tawaran ideologis bagi perang ideologi dunia antara Amerika dan Uni Soviet, juga harus dibayar setimpal.
Atas tuduhan keterlibatan dalam pemberontakan G30S/PKI yang menewaskan para pahlawan Revolusi, Bung Karno terjungkal dari singgasana kekuasaannya. MPRS mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Pj Presiden pada 1967.
Pergolakan politik pasca Republik Indonesia Serikat (RIS), memang berlangsung sengit dan berjalan lebih dari satu dekade. Kondisi politik nasional tak stabil. Pemerintahan jatuh bangun. Kabinet hanya berjalan seumur jagung. Inilah yang melatarbelakangi Bung Karno pada 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan konstituante dan kembali ke UUD 1945.