Opini

Koalisi Tanpa Kursi

18
×

Koalisi Tanpa Kursi

Sebarkan artikel ini
Moh. Eksan

oleh: Moch Eksan (*)

Sehari sebelum audisi para calon menteri Presiden Terpilih Jenderal (Purn) TNI Prabowo Subianto hilir mudik di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ada pernyataan sikap dari DPP Partai NasDem. Bahwa, NasDem tak menempatkan kadernya di kabinet, kendati tetap mendukung dan menjadi bagian dari pemerintahan pasca Jokowi.

Sekjen DPP Partai NasDem, Hermawi Taslim mengatakan bahwa NasDem lebih senang politik gagasan diterima dalam kebijakan negara dari pada secara fisik berada dalam kabinet. Wakil Ketua Umum, Saan Mustopa juga menimpali, tak elok meminta jatah kursi kabinet, sementara NasDem pada Pilpres 2024 lalu mendukung pasangan lain. Yakni pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar.

Barangtentu, sikap NasDem ini keluar dari kelaziman teori dan tradisi koalisi di mana pun di belahan dunia. Namanya, koalisi merupakan pengabungan beberapa partai dalam mengusung pasangan calon, dan pembentukan pemerintahan serta penguatan koalisi partai di parlemen.

Ketua Fraksi NasDem DPR RI, Viktor Laiskodat menambahkan, Ketua Umum Surya Paloh telah memberi dukungan penuh terhadap pemerintahan Prabowo semenjak diumumkan KPU sebagai pemenang. Melalui 69 anggota, NasDem akan berkontribusi secara fisik, fikiran dan tenaga membantu memastikan pemerintah sukses melaksanakan visi, misi dan programnya.

Dengan demikian, NasDem bukan sekadar melawan arus persepsi para pengamat, bahwa masuknya partai ini dalam pemerintahan untuk mendapat jatah kursi menteri. Namun, ternyata membuat praktik politik baru dalam spektrum teori koalisi yang sudah mapan, seperti yang disampaikan oleh Andrew Heywood, Shively dan lain-lain.

Setelah NasDem memperkenalkan politik tanpa mahar dalam praktek kandidasi calon presiden, gubernur dan atau bupati/wali kota, kini mulai mengenalkan koalisi tanpa kursi.

Padahal, kata Edmund Burke, Sigmund Neumann, dan RH Soltau mengemukakan, bahwa orang atau sekelompok orang mendirikan partai sebagai alat memperjuangkan kepentingan, sarana merebut kekuasaan dalam pemerintahan, dan wadah mengeluarkan kebijakan umum serta mengelola anggaran publik demi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Sikap NasDem sebenarnya tak aneh, bila mengerti jalan pemikiran Surya Paloh yang lebih memaknai berpolitik dan berpartai sebagai sarana mewujudkan pengabdian dan bukan semata sarana merebut kekuasaan. Jelas, sikap ini memudahkan Prabowo untuk menyusun kabinet tanpa dibebani kursi NasDem. Sekaligus, memberi kesempatan partai pengusungnya sedari awal mendapat jatah yang proporsional.

Dalam konteks ini, NasDem keluar dari tradisi koalisi yang jamak berlaku selama ini. Bahwasannya, makna koalisi adalah power sharing (bagi-bagi kekuasaan). Tentu dengan mendukung atau bergabung dengan pemerintah, biar dapat kursi kabinet dengan bersama-sama anggota koalisi lain mengelola pemerintahan.

>>> Ikuti saluran whatsapp beritabangsa.id
Example 468x60Example 468x60Example 468x60 Example 468x60