Opini

The NU Winners, Catatan Pilgub Jatim

87
×

The NU Winners, Catatan Pilgub Jatim

Sebarkan artikel ini
Habibullah

Oleh: Habibullah (*)

LENGKAP sudah pasangan Calon Gubernur (Cagub) dan Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Jawa Timur. Mereka berpasang-pasangan sesuai kadar selera dan basis suara.

Dan alhamdulillah, tiga paslon yang telah ditetapkan KPU, semua tetap lewat mesin politik yang bernama partai. Namun sejauh mata memandang, tetap wajah NU-lah yang paling tampak berkibar di paling puncak.

Tidak heran sekiranya, bila menjelang pelaksanaan pemilukada serentak tahun ini. Jawa Timur menjadi daerah yang banyak menyita perhatian pengamat dan media.

Selain karena sebagai tempat bagi lahirnya ormas terbesar Nahdlatul Ulama, daerah ini juga menjadi basis terbesar kaum Nahdliyin di Indonesia.

Gerakan politik dari masing-masing pendukung dan pasangan calon yang berniat memimpin Jawa Timur. Tentu konstelasi politiknya sudah sangat menyita perhatian publik.

Semua pasangan sudah tebar pesona. Dari papan nama sampai kartu nama. Dari gaya bersolek sampai gaya berdialek. Fenomena ini sudah menjadi bagian dari bunga-bunga demokrasi dalam setiap menjelang pemilu.

 

Politik Kader NU

Yang menjadi menarik dari pemilihan Gubernur Jawa Timur ini. Selain karena mayoritas masyarakatnya yang NU. Ketiga cagub-cawagubnya adalah sama-sama kader terbaik NU.

Meminjam istilah Emmanuel Subangun dalam artikelnya adalah, All The NU-Men (Kompas: 18/05/2004)

Dengan keadaan yang demikian tersebut, para pengamat dan media berfikir serta mereka-reka tentang persentase suara kaum nahdliyin. Serta menakar berapa komposisi suara yang akan diperoleh para kandidat.

Pertanyaan yang muncul kemudian, kemana suara kaum Nahdliyin akan berlabuh pada pilgub mendatang? Ke calon dari kader NU yang diusung oleh partai Islam ataukah ke calon dari partai nasionalis?

Tapi kalau mengacu pada sejarah kepartaian yang dilahirkan oleh NU itu sendiri. Maka sepatutnya kaum nahdliyin Jawa Timur melabuhkan suaranya pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Namun bila kita berkaca pada pengalaman pilgub sebelum-sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa; meski para petinggi NU ikut membidani lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tahun 1998.

Suara PKB tidak pernah mutlak menang di setiap momentum politik pilgub Jawa Timur. Ya meskipun daerah tersebut adalah basis massa dari kaum Nahdliyin itu sendiri.

Maka dari itu, bisa dikatakan bahwa suara PKB tidak sepenuhnya dari kaum Nahdliyin. Dengan demikian, tidak bisa dipastikan bahwa suara Nahdliyin akan memilih calon yang diusung PKB.

Hal demikian terjadi, karena ini sesuai dengan hasil Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984. Yang mana, secara organisatoris NU sudah kembali ke Khittah 1926. Yakni sebagai organisasi netral dan tidak akan terlibat dalam panggung politik praktis.

Khittah inilah yang kemudian dimaknai sebagai bentuk kebebasan bagi Nahdliyin untuk mendukung dan memilih partai atau calon manapun sesuai selera dan nalar politik masing-masing.

Selain itu, pasangan calon Gubernur Jawa Timur ini menjadi simbol bertarungnya kekuatan besar antara politisi nasionalis-sekuler dengan politisi dari kekuatan Islam tradisional-nasionalis.

Ini memang bukanlah hal baru dalam demokrasi kita. Meminjam istilah Laode Ida dalam artikelnya, ketika terjadi duet Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi pada Pemilu Presiden 2004 silam.

Dia mengatakan dengan jelas bahwa : ini merupakan bersatunya komunitas “Allahu Akbar” dengan “Merdeka” (Kompas: 07/05/2004)

 

NU Sebagai Pemenang

Dari semua pasangan calon yang ada, kita tidak bisa menafikan kelebihan dan kekurangan masing – masing paslon. Baik dari segi koalisi yang dibangun, maupun dari segi basis suara politik para calon.

Paparan ini tidak sedang mau mengatakan bahwa semua pasangan calon tidak mempunyai prospek sama sekali. Semua prospek dan semua putra-putri terbaik NU dan daerah.

Apalagi seluruh kandidat calon gubernur tersebut, semuanya merupakan tokoh perempuan. Mereka adalah Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah.

Yang menurut beberapa pengamat, hal ini menunjukkan perkembangan yang sangat positif dalam kesetaraan gender di dunia kepemimpinan politik di Jawa Timur.

Terlepas dari itu, dengan tulisan ini penulis ingin menggambarkan bahwa secara politik, posisi semua pasangan calon berada dalam kondisi yang bisa dikatakan sedang tidak baik-baik saja.

Bagi pasangan Khofifah Indar Parawangsa dan Emil Dardak yang digawangi oleh Demokrat misalnya. Sebagai incumbent, pasangan ini harus meyadari bahwa basis suaranya sedang menjadi rebutan bagi dua lawan politiknya yang juga dari kader NU.

Dan ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pasangan tersebut. Karena kondisi ini menuntut adanya keringat dan semangat berlebih untuk berjuang lebih keras dan lebih ikhlas.

Pun demikian halnya, dengan pasangan Tri Rismaharini dengan Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans. Juga tidak mudah untuk secara mutlak menang dengan berharap dukungan penuh dari kaum Nahdliyin.

Bagi paslon yang diusung PDI-P ini, sebagaimana dikatakan oleh Laode Ida: emosi dan dendam kalangan Nahdliyin yang niscaya tersimpan dalam memori, utamaya arus besar yang merasa disakiti oleh Megawati (Ketum PDI-P) saat bersama politisi lainnya mendongkel posisi Gus Dur dari kursi presiden.

Hal ini bisa menjadi sentimen tersendiri bagi kaum Nahdliyin untuk tidak memilih terhadap pasangan calon dari PDIP yang dinahkodai oleh orang yang diyakini terlibat dalam mengkudeta junjungannya dahulu.

Terakhir untuk pasangan Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim yang diusung oleh PKB. Posisinya juga sama-sama mempunyai sentimen kolektif yang bisa mengikis perolehan suara dari kaum Nahdliyin.

Secara historis, pasangan ini bisa dikatakan berada dalam posisi yang juga didera oleh sentimen dari kalangan fanatik PKB Gus Dur. Dan ini bisa menjadi batu sandungan untuk bisa menang di pilgub Jawa Timur.

Apalagi ditambah dengan adanya konflik antara petinggi PKB dengan petinggi NU. Sehingga harus berujung pada pemecatan anggota DPR RI terpilih dari ke anggotaan partai.

Yang mana, anggota DPR terpilih yang dipecat dari keanggotaan partai tersebut adalah Achmad Ghufron Sirodj selaku sekretaris pribadi (sespri) dari ketua umum PBNU, yakni Yahya Cholil Staquf.

Diakui atau tidak, konflik yang berujung pemecatan tersebut bisa menjadi ancaman bagi PKB itu sendiri. Baik itu dari simpatisan PKB yang menjadi loyalis dari Achmad Ghufron Sirodj maupun dari kaum nahdliyin itu sendiri.

Namun terlepas dari semua itu, hal utama yang harus di sadari oleh para kandidat adalah tujuan dari sebuah pelaksanaan pemilu itu sendiri. Yakni, untuk membangun dan mewujudkan taraf hidup dan kehidupan warga negara yang lebih baik.

Para Nahdliyin sebagai pemilih harus sadar bahwa kebesaran Jam’iyah NU pada pilgub nanti bukan dilihat dari seberapa besar kadernya memperoleh kekuasaan. Akan tetapi, dilihat dari seberapa besar kader terbaik NU mampu bermanfaat bagi kesejahetraan umat.

Dan terakhir, seperti apapun proses serta konstelasi politik dalam pelaksanaan pilgub Jawa Timur nanti. Hasilnya akan tetap (The NU Winners) Nahdlatul Ulama sebagai pemenangnya.

(*) Penulis adalah jurnalis beritabangsa.id di Blitar

  • Tulisan opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id

 

 

>>> Baca berita lainnya di google news beritabangsa.id 

>>> Ikuti saluran whatsapp beritabangsa.id
Example 468x60Example 468x60Example 468x60 Example 468x60