Opini

Oligarki dan Demokrasi: Kotak Kosong sebagai Simbol

141
×

Oligarki dan Demokrasi: Kotak Kosong sebagai Simbol

Sebarkan artikel ini
kotak kosong
Vikri Mahbub, *) Praktisi Hukum dan Pengamat Politik

Oleh : Fikri Mahbub*

Pada 4 September 2024, KPU resmi menutup pendaftaran kepala daerah di berbagai wilayah. Penutupan itu menandai berakhirnya pendaftaran gelombang kedua yang menutup kemungkinan peluang munculnya bakal calon pasangan baru. Artinya dengan itu, sebanyak 43 daerah mendeklarasikan calon tunggal, yakni mereka akan melawan kotak kosong.

Kotak kosong menjadi fenomena yang ramai diperbincangkan dasawarsa terakhir ini. Jumlahnya terus meningkat tiap tahun. Kotak kosong pertama kali digunakan dalam kontestasi Pilkada pada 2015 silam.

Hanya ada tiga kotak kosong pada 2015. Namun jumlahnya meningkat menjadi sembilan kotak kosong pada 2017, kemudian 16 kotak kosong pada 2018, lalu meningkat 25 kotak kosong pada 2020.

Aturan mengenai calon tunggal Pilkada, pertama kali diatur dalam peraturan KPU nomor 14 tahun 2015 tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan satu pasangan calon.

Kemudian aturan ini diperbaharui dengan terbitnya Peraturan KPU nomor 13 tahun 2018 tentang perubahan atas peraturan KPU nomor 14 tahun 2015 tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan satu pasangan calon.

Sementara aturan terbaru adalah peraturan KPU RI nomor 20 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas peraturan KPU nomor 14 tahun 2015 tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan satu pasangan calon.

Lebih lanjut, penentuan pemenang merujuk pada ketentuan Undang-undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, dimana calon tunggal dinyatakan menang jika memperoleh 50 persen dari total suara sah.

Perhelatan pilkada kali ini mungkin hanya akan menjadi semacam “formalitas” bagi masyarakat. Tak lagi memikat rasa penasaran konstituen untuk ikut serta antusias. Di sisi lain bisa pula masyarakat menilai ini mencerminkan praktik “kartel politik.”

Meski adanya calon tunggal tak menjamin membuat calon tersebut secara aklamasi diangkat menjadi kepala daerah, namun kecil kemungkinan mereka terpeleset melawan kotak kosong.

Kita tahu bersama pesta lima tahunan di negara ini membutuhkan dana yang tak sedikit. Maju ke pemilihan itu ongkosnya sangat besar. Jadi semacam percuma maju ketika yang akan menang sudah diketahui. Ditandai dengan munculnya calon tunggal yang diusung oleh partai koalisi yang gemuk. Mungkin hanya menyisakan partai-partai kecil yang tak juga percaya diri, dan bahkan tak bisa mencalonkan sendiri.

>>> Ikuti saluran whatsapp beritabangsa.id
Example 468x60Example 468x60Example 468x60 Example 468x60