Opini

Calon Tunggal dan Kartel Politik Lokal

185
×

Calon Tunggal dan Kartel Politik Lokal

Sebarkan artikel ini
PASCA Pemilu

Adanya calon tunggal inilah, yang melandasi lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 100/PUU-XIII/2015 yang membuka ruang atas adanya calon tunggal yang bertarung melawan kotak kosong.

Pasca munculnya putusan MK, fenomena calon tunggal terus meningkat sampai 2020.

banner 300600

Jika dicermati, tidak menutup kemungkinan di Pilkada serentak 2024 juga akan mengalami fenomena itu pula.

Menurut hemat penulis, keberadaan calon tunggal disebabkan oleh adanya gejala bersatunya rekom partai politik yang ditopang oleh kekuatan finansial dan politik orang kuat lokal (local strong men) sebagai kartel utama.

Nah di sini, penyelenggaan Pilkada seperti menjadi lahan basah untuk membangun kuasa dengan kekuatan modal dan pengaruh untuk menghegemoni kekuasaan.

Kartelisasi Parpol

Adanya kartel politik lokal melalui kekuatan modal dan politik, berusaha untuk memborong rekomendasi Parpol secara besar-besaran agar bisa mengusung calon tunggal.

Jika ini terjadi, maka puncaknya adalah peniadaan terhadap penghormatan atas tiga syarat mutlak demokrasi. Yakni kompetisi, partisipasi, dan suara rakyat.

Munculnya perilaku politik demikian, sangat perlu untuk disikapi secara kritis. Karena jika tidak, maka taruhannya adalah masa depan demokrasi itu sendiri.

Sudah banyak studi dari pakar politik yang telah mengkaji, bagaimana para kartel itu bisa merusak dengan cara merasuk ke dalam tubuh partai politik.

Slater (2004) dalam studinya juga mengatakan, penyebab adanya kartelisasi partai politik adalah karena gagalnya partai politik dalam menciptakan mekanisme check and balance.

Sehingga tidak mengherankan, bila dengan mudah ditemukan gerakan demikian yang didorong oleh perilaku para kartel politik.
Di mana dampak buruknya, adalah perburuan rente dan korupsi yang terus marak.

Selanjutnya ada Dodi Ambardi (2009) yang dalam studinya mengatakan, bahwa fenomena kartelisasi terhadap partai politik disebabkan oleh adanya kepentingan kolektif.

Di mana, mereka dengan sengaja bergerombol untuk membangun dan menjaga sumber-sumber rente di lembaga eksekutif dan legislatif demi kelangsungan hidup mereka.

Maka dari itu, jika calon tunggal harus ada pada Pilkada mendatang. Bisa dipastikan bahwa, pemilihan bukan lagi jadi wujud dari penghormatan sistem demokrasi terhadap suara rakyat.

Akan tetapi, pemilihan hanya menjadi bagian dari sarana dan upaya untuk melegitimasi politik kartel dalam membangun kuasa dengan menyeret demokrasi pada kemunduran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *