Selama masa revolusi kemerdekaan itu juga Sultan Hamengkubuwana IX menegaskan dirinya benar-benar republiken tulen meski berstatus Raja Yogyakarta. Berbeda dari nasib banyak penguasa feodal lain, yang tergulung derasnya arus revolusi, popularitasnya meluas di kalangan republiken.
Perannya di masa revolusi meyakinkan pemerintah Republik mengenai kepatuhan kerajaannya. Tak lama usai perang kemerdekaan, Republik segera menetapkan Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman menjadi satu-satunya bekas swapraja berstatus Daerah Istimewa selevel provinsi.
UU nomor 3 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta terbit pada 3 Maret 1950. Menjelang RIS bubar, beleid itu diubah dengan UU nomor 19 tahun 1950. Isinya menambah urusan Pemerintah DIY dari 13 jadi 15 jenis (P.J. Suwarno, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974, 1994:285).
Sebelum ada UU nomor 3 tahun 1950, Yogyakarta memang berstatus daerah otonom. Tapi, belum ada penegasan eksplisit statusnya sebagai daerah istimewa. Pemerintahan di DIY sebelum 1950 cuma diatur secara umum di dua undang-undang soal daerah berotonomi.
Kesetiaan Sultan Hamengkubuwono IX terhadap Republik memang telah ditunjukkan dalam Maklumat 5 September 1945 mengenai penggabungan kerajaannya ke Republik. Tapi, maklumat itu tidak terlalu istimewa. Yang lebih istimewa adalah sikapnya dan integritasnya untuk republik.
Sri Sultan sempat mendapat desakan dari pemerintah Belanda untuk dinobatkan menjadi Raja Tunggal Jawa. Namun dirinya enggan menerima permintaan itu. Musababnya Keraton Yogyakarta enggan memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada keraton lain yang ada di Jawa. “Itu tidak mungkin saya terima. Kalau saya terima maka saya merendahkan keraton-keraton yang lain.”
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id
(*) Penulis adalah wartawan Beritabangsa.id.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id