Opini

Keteguhan Sultan Hamengkubuwono IX Pertahankan Yogyakarta dan Kedaulatan RI

255
×

Keteguhan Sultan Hamengkubuwono IX Pertahankan Yogyakarta dan Kedaulatan RI

Sebarkan artikel ini

Sri Sultan lantas menyerahkan keris pusaka “Kyahi Jaka Piturun” secara langsung kepada Dorojatun. Penyerahan keris tersebut diketahui merupakan tanda raja menginginkan si penerima sebagai putra mahkota. Kejadian itu pun memperjelas maksud Sultan Hamengkubuwono VIII memanggil Dorojatun lebih cepat dibanding putra-putra lainnya.

“Dengan penyerahan keris tersebut pada saya waktu itu, menjadi jelaslah maksud ayah bagi saya dan saudara-saudara saya,” kata Sultan HB IX, seperti diceritakan Mohammad Roem dkk dalam Tahkta untuk Rakyat: Celah-celah kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, Sultan ingin Putra.

Tak lama berselang, pada bulan dan tahun yang sama, Sultan Hamengkubowono VIII wafat pada 22 Oktober 1939. Dorodjatun selaku putra mahkota pun naik takhta, meskipun sempat terjadi tarik-ulur yang alot dengan pihak pemerintah kolonial Hindia Belanda. 18 Maret 1940, Dorodjatun dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana IX.

Seperti diungkapkan kembali oleh Nurinwa Ki S. Hendrowinoto dalam buku Pisowanan Ageng Sri Sultan Hamengku Buwono X: Sebuah Percakapan (1996), setelah resmi dikukuhkan menjadi raja, Sultan HB IX berucap: “Saya memang berpendidikan Barat, tapi pertama-tama saya tetap orang Jawa.” ucapnya tegas.

Masa kepemimpinannya di Yogyakarta sedang dalam fase genting menuju akhir pendudukan Belanda di tanah air. Pun saat perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan memilih untuk menjadi tokoh Protagonis utama saat agresi militer Belanda pada awal 1946 dengan menawarkan Ibu Kota Negara pindah untuk sementara di Yogyakarta. Hampir seluruh biaya selama pusat pemerintahan RI berada di Yogyakarta juga ditanggung oleh keraton.

>>> Ikuti saluran whatsapp beritabangsa.id
Example 468x60Example 468x60Example 468x60 Example 468x60