Menurutnya, pesantren adalah tempat memperdalam ilmu agama yang mencakup lima elemen, yaitu santri, kiai, kitab, masjid, dan pondokan. Sejak dulu, pesantren telah menjadi pusat literasi dengan menggunakan metode sorogan.
“Mereka pembelajarannya secara individual dan menghadap bergiliran, menghafalkan, lalu menjelaskan di hadapan kyai,” terangnya.
Sehingga, banyak sekali karya tulis yang masih masyhur hingga saat ini. Karyanya bahkan dijadikan sebagai sumber rujukan di mana karya tersebut lahir dari pesantren.
Sementara Pustama Perpusnas RI Doktor Upriyadi, menyampaikan kebijakan pengembangan perpustakaan pesantren sebagai pusat inkubasi literasi.
Menurutnya, pesantren menjadi bagian dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Hal tersebut sesuai dengan tujuan negara kita, yakni NKRI. Sehingga pesantren dapat bersinergi dan berperan aktif membangun perpustakaan pesantren yang masuk pada kategori perpustakaan khusus,” jelasnya.
Arah kebijakannya pun disesuaikan dengan pengembangan perpustakaan khusus. Seperti aspek kelembagaan, pengembangan kompetensi SDM, dan pengembangan koleksi.
“Termasuk soal sarana dan prasarana, pengembangan layanan, serta pendanaannya,” jelasnya.
Di sesi lain, Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim Hikmah Bafaqih menyampaikan bagaimana membangun literasi di kalangan ponpes bisa berjalan efektif.
Menurutnya, para pengasuh Ponpes perlu mendorong para santrinya untuk terus berkarya dalam berliterasi. Para santri diharapkan terbangun semangatnya dalam membaca dan menulis.
“Ajak santri-santri kecil kita untuk terus belajar membaca dan menulis,” katanya.
Terpenting, sebut Hikmah Bafaqih, semua keinginan itu harus dimulai. Pasalnya, dengan cara itu semuanya akan menjadi terbiasa.
“Keterbatasan tidak usah jadi kendala, karena sumber informasi kita sangat luar biasa. Karena keterbatasan menimbulkan kecerdasan,” pungkasnya.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id