Berbagai kegiatan dan program-program yang ditawarkan Unusa, selalu bersinggungan dengan pondok pesantren, baik level nasional, khususnya daerah Jawa Timur.
“Unusa juga fokus pendampingan di pondok pesantren, di antaranya kegiatan Pos Kesehatan Pondok Pesantren (Poskestren), Program Pesantren Bersahaja (Bersih, Sehat dan Harmonis di Jawa Timur), Program Community Based Learning (CBL) bagi Pondok Pesantren, Program Pelatihan Pembuatan Media Sjar Berorientasi Aswaja di Pondok Pesantren, Program One Pesantren One Produk (OPOP) Training Center Unusa, serta di 2021, KKN Unusa terfokus pada pembangunan di beberapa Pondok Pesantren (Ponpes),” ungkapnya saat dikonfirmasi Beritabangsa.id.
Penulis skenario film Hati Suhita, Alim Sudio, mengungkapkan, pertama ditawarkan mengadaptasi kisah Hati Suhita, dia sempat ragu dan pesimis tawaran dari Mr. Parwez. Terdengar klise dan “bukankah sudah ada kisah yang sama seperti ini?” tapi dia diyakinkan untuk mencoba membaca buku karya Ning Khilma Anis dulu, sebelum memutuskan.
“Karena bukunya sangat kaya akan pemahaman kultur pesantren dan Jawa. Hati Suhita adalah hati siapapun yang menjadi pemimpin, yang merasakan tugasnya hadir di dunia ini, bukan hanya untuk berumah tangga dan beranak pinak tapi juga turut berperan membangun negeri ini. Pilihan hidup yang dilematis seringkali terjadi dan bagaimana kita bijak menghadapi, dan memenangkan peperangan itu sendiri,” ungkapnya.
Penulis Novel Hati Suhita, Khilma Anis mengungkapkan, barangkali dia termasuk penulis yang paling beruntung di dunia, lahir dan besar di pesantren, menulis tentang kehidupan pesantren dan wanita Jawa yang sederhana.
“Tapi karya saya itu dialihvisualkan dengan begitu ‘megah’ oleh Starvision,” tuturnya.
Dia termasuk penulis yang paling beruntung di dunia; Starvision benar-benar memberikan semua yang terbaik untuk karyanya.
Dia dipilihkan seorang sutradara, Mas Archie Hekagery yang penuh integritas sekaligus selalu mengakomodir keinginannya sebagai penulis.
“Saya tahu, membuat film yang mengangkat karakter perempuan Jawa dengan suasana yang modern dan menyenangkan, tentu tidak mudah. Bagi saya pribadi, selama ini film-film tentang wanita Jawa identik dengan suasana klasik. Film-film dengan suasana Pesantren, identik dengan suasana sakral dan kaku. Tapi di Film HATI SUHITA semuanya terasa menyenangkan. Penonton benar-benar dimanjakan oleh gambaran visual dan alunan kisahnya,” ungkapnya.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id