Opini

Mewujudkan Poros Ketiga

92
×

Mewujudkan Poros Ketiga

Sebarkan artikel ini

BERITABANGSA.COM Berbicara politik, berarti berbicara tentang sesuatu yang tak lapuk dibahas, tak lekang dikupas. Ia tak berbatas pada ruang dan waktu.

Politik akan selalu mencipta dan menemu sendiri celah untuk terus berkelindan dalam hidup dan kehidupan. Karena politik adalah kebaruan dari suatu yang lewat dan yang akan datang.

Pun juga dengan tulisan ini, ketika hendak membahas politik Muhaimin Iskandar untuk menjadi Capres 2024. Penulis sempat merasa sudah kehilangan momentum dari pernyataan itu. Karena pastinya sudah tak seheboh saat pertama kali ambisinya dibahasakan ke khalayak ramai. Tapi ternyata tidak.

Meski elektabilitasnya rendah, pernyataan Muhaimin tetap menimbulkan banyak bahasan dan ulasan. Terlebih jika melihat dari pengakuannya tentang dukungan dari banyak kiai sepuh Nahdlatul Ulama.

Hal tersebut pastinya sedikit mengusik banyak pihak, terutama bagi mereka yang sedari awal sudah bersiap untuk maju. Meskipun secara elektoral, ia tidak masuk tiga besar dalam daftar nama calon di beberapa lembaga survei terbaru. Tapi massa NU yang selalu dibawa-bawa, itu membawa daya kejut tersendiri.

Mengukur Diri

Hasil survei terbaru Charta Politika, merilis terkait elektabilitas calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Nama Ganjar Pranowo menempati paling puncak dengan elektabilitas 31,2% (Kompas, 13/6/2022)

Selanjutnya disusul oleh peringkat kedua yakini Prabowo Subianto 23,4%, dan peringkat ketiga Anies Baswedan 20,0%. Kemudian Ridwan Kamil 4,6%, Sandiaga Uno 3,6%, Agus Harimurti Yudhoyono 3,3%, Khofifah Indar Parawansa 2,9%, Erick Thohir 2,0%, Puan Maharani 1,8%, Airlangga Hartarto 1,2%.

Ironisnya, sampai pada hasil survei tentang elektabilitas calon wakil presiden pun, nama Muhaimin Iskandar tidak masuk dalam daftar 16 nama dari hasil survei Charta Politika tersebut.

Berbeda dengan hasil survei dari LSI Denny JA, meski nama Muhaimin Iskandar masuk dalam daftar. Itupun masih di bagian divisi 2 dengan elektabilitas 1,6%. Sedangkan pada bagian divisi 1, pembagian hasil survei berdasarkan tiket partai dan elektabilitas, nama Muhaimin Iskandar tetap tidak masuk (Kompas,14/6/2022).

Berikut hasil survei berdasarkan divisi 1 : Prabowo Subianto 28,9%, Ganjar Pranowo 23,5%, Anies Baswedan 14,6%, Agus Harimurti Yudhoyono 6,1%, Sandiaga Uno 5,3%, Airlangga Hartarto 4,5%, Puan Maharani 2%, Tri Rismaharini 1,6%, Erick Thohir 1,5%, Moeldoko 0,1%.

Berikut daftar nama dalam hasil survei divisi 2 : Agus Harimurti Yudhoyono 6,1%, Sandiaga Uno 5,3%, Ridwan Kamil 3,6%, Muhaimin Iskandar 1,6%, Khofifah 1,5%, Erick Thohir 1,5%, Moeldoko 0,1%, Budi Gunawan 0,1%, Tito Karnavian 0,1%, Sri Mulyani 0,1%, Andika Perkasa 0,1%, La Nyala M 0,1%.

Dari hasil survei di atas, bagi parpol dan siapapun yang berambisi jadi capres seharusnya bisa dijadikan pijakan untuk mengukur kekuatan diri. Apabila memang tidak memungkinkan dan tidak pantas menjadi calon presiden, alangkah lebih baiknya dengan mempertimbangkan diri menjadi wakil presiden saja.

Pijakan tersebut mulai dari sekarang sudah seharusnya dijadikan pertimbangan agar parpol tidak bersikap rawe-rawe rantas malang-malang putung. Alias maju terus dengan segala risikonya, meski sudah tahu bakal kalah dan terjungkal.

Membentuk Poros

Jika memang Muhaimin Iskandar harus tetap maju sebagai capres, meski elektabilitasnya berada jauh dari sekian banyak daftar nama di beberapa hasil lembaga survei.

Maka jalan satu-satunya adalah dengan membentuk poros ketiga. Minimal dengan demikian, kehadirannya bisa mengurangi tingginya polarisasi politik masyarakat akibat pilpres 2019 yang sangat memilukan.

Apalagi, komunikasi politik yang dibangun antara PKB dan PKS sudah sampai pada tahapan yang memungkinkan adanya poros ketiga.

Jadi tinggal bagaimana peranan kedua partai tersebut untuk serius mewujudkannya.
Meski menurut sebagian pengamat, hal itu tidak memungkinkan terbentuknya koalisi yang kuat. Karena di antara keduanya ada perbedaaan spektrum ideologis dan basis massa antara PKB dan PKS yang begitu kuat.

Menurut hemat penulis, okelah PKB dan PKS tidak pernah ketemu secara ideologis, tapi secara pragmatis keduanya pernah bertemu pada pilpres 2004-2009. Bahkan, sepanjang sejarah politik Indonesia, koalisi tidak selalu dibentuk berdasarkan kepentingan ideologis, tapi juga dibentuk berdasarkan kepentingan pragmatis.

Maka dari itu, bersatunya basis Islam perkotaan dan Islam pedesaan ini bisa saja terjadi dalam politik yang serba mungkin. Dan jika ini terjadi, maka jargon politiknya adalah : kaum Islam kota-desa bersatu padu merebut kekuasaan. Selebihnya, Wallahu A’lam Bishawab.

*) Habibullah seorang wartawan beritabangaa.com

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.com

>>>Ikuti Berita Lainnya di News Google Beritabangsa.com

>>> Ikuti saluran whatsapp beritabangsa.id
Example 468x60Example 468x60Example 468x60 Example 468x60