Pendidikan

Dua Wisudawati Non-Muslim Unusa Jadi Simbol Toleransi Kampus

10
×

Dua Wisudawati Non-Muslim Unusa Jadi Simbol Toleransi Kampus

Sebarkan artikel ini
dua wisudawati

BERITABANGSA.ID, SURABAYA – Prosesi wisuda Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) ke-19 yang digelar pada Rabu, (23/4/2025), diwarnai kisah inspiratif dari dua wisudawati non-muslim.

Mereka adalah Waryani, seorang Kristen asal Kalten, dan Ana Zenetia Paulo Soares de Rosa, mahasiswi Katolik dari Dili, Timor Leste. Keduanya lulus dari Program Studi S1 Kebidanan Unusa yang telah terakreditasi unggul.

Waryani, kelahiran 2 November 1971, tercatat sebagai wisudawan tertua dalam acara tersebut. Ia menempuh jalur Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) setelah sebelumnya menyelesaikan pendidikan D3 Kebidanan.

Saat ini, ia bekerja di RS Darmo Surabaya dan mengaku bangga dapat menuntaskan pendidikan di usia 54 tahun.

“Salah satu dosen saya adalah teman seangkatan saat kuliah D3 dulu. Beliau memang sejak dulu cerdas, jadi wajar kalau sekarang jadi dosen saya,” ujarnya sambil tersenyum.

Sementara Ana Zenetia, kelahiran 22 Agustus 2001, menempuh jalur lintas jenjang dari D3 ke S1.

Ia memilih melanjutkan pendidikan di Unusa karena kualitas program studi yang ditawarkan serta reputasi kampus yang ramah dan terbuka terhadap keberagaman.

Meski beragama non-muslim, keduanya mengaku tidak pernah merasa terasing selama menjalani proses pendidikan di kampus berbasis ke-Islaman tersebut.

“Saya justru merasa sangat dihormati. Teman-teman saya mayoritas berjilbab, tapi saya tidak pernah merasa berbeda. Bahkan saya senang memakai kerudung,” ujar Waryani.

Pengalaman serupa juga dirasakan Ana. Ia menyebut Unusa sebagai tempat belajar yang tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan.

“Saya bisa menjalankan ibadah dan merayakan hari raya agama saya tanpa kendala. Teman-teman Muslim saya bahkan mengucapkan selamat Natal dan memperlakukan saya seperti keluarga,” ucapnya.

Unusa dikenal sebagai kampus yang menjunjung tinggi nilai Islam rahmatan lil ‘alamin. Lingkungan akademik yang inklusif memungkinkan mahasiswa dari berbagai latar belakang hidup berdampingan dalam suasana saling menghormati.

“Kami belajar bersama dan berdiskusi tanpa sekat. Justru dari sini saya lebih mengenal nilai-nilai Islam yang damai dan terbuka,” tambah Waryani.

Kisah Waryani dan Ana menjadi bukti bahwa pendidikan tinggi berbasis ke-Islaman bisa menjadi ruang tumbuh yang aman, inklusif, dan membentuk lulusan yang tidak hanya profesional di bidangnya, tetapi juga memiliki semangat kebhinekaan dan toleransi yang tinggi.

>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id

>>> Ikuti saluran whatsapp beritabangsa.id
Example 468x60Example 468x60Example 468x60 Example 468x60