Terkini

PPN Naik 12%, Pakar Sebut Berpotensi Hambat Transaksi Non-Tunai

27
×

PPN Naik 12%, Pakar Sebut Berpotensi Hambat Transaksi Non-Tunai

Sebarkan artikel ini
PPN
Pakar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB UNAIR), Prof Dr. Rahmat Setiawan.. SE., MM.

BERITABANGSA.ID, SURABAYA – Pemerintah secara resmi mengumumkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Kebijakan ini menimbulkan gelombang penolakan dari masyarakat, terutama terkait dampaknya pada transaksi non-tunai menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).

Pakar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB UNAIR), Prof Dr. Rahmat Setiawan, menilai bahwa penerapan PPN 12% pada transaksi QRIS dapat mendorong masyarakat kembali ke pembayaran tunai.

“Kalau memang pakai QRIS ternyata juga terkena dampak PPN 12%, tentunya masyarakat akan kembali ke tunai. Ngapain pilih QRIS kalau memang nanti kena PPN 12%? Jadi, perilaku orang itu sebenarnya rasional dan akan selalu menyesuaikan,” jelas Prof Rahmat.

Profesor Rahmat mengungkapkan bahwa kebijakan ini berpotensi menghambat kampanye pemerintah dan Bank Indonesia yang mendorong peningkatan transaksi non-tunai.

Selain untuk memudahkan transaksi, pembayaran non-tunai juga dianggap efektif dalam mengurangi tindak pencucian uang.

“Kita diarahkan pemerintah untuk menggunakan transaksi non-tunai supaya konsumsi meningkat dan pertumbuhan ekonomi terdorong. Selain itu, mekanisme pencucian uang melalui transaksi tunai sulit dilacak, tetapi dengan non-tunai semua ter-record,” imbuhnya.

Meski terdapat pengecualian untuk beberapa jenis barang, Prof Rahmat menyebutkan bahwa barang kebutuhan sehari-hari, seperti sabun, pasta gigi, dan deodoran, tetap dikenakan PPN 12%.

Hal ini menambah beban masyarakat yang sudah menghadapi kenaikan harga barang.

“Barang-barang ini bukan barang mewah, tapi kita butuhkan sehari-hari. Dengan kenaikan PPN 12%, beban hidup masyarakat semakin berat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Prof Rahmat mengingatkan bahwa kenaikan PPN dapat menurunkan daya beli masyarakat, yang berujung pada penurunan produksi dan peningkatan angka pengangguran.

“Kalau PPN naik, daya beli turun, konsumsi turun, produksi berkurang, dan akhirnya pengangguran meningkat. Ini akan menciptakan efek domino yang merugikan ekonomi nasional,” tegasnya.

Prof Rahmat menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan penundaan atau membatalkan kebijakan ini.

Berdasarkan pasal 7 ayat (3) UU HPP, pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif PPN di angka 11% tanpa mengubah Undang-undang.

“Masih ada ruang untuk tetap di 11% sesuai kewenangan pemerintah tanpa harus mengubah UU. Harapannya, pemerintah dapat menunda atau mempertimbangkan kembali kebijakan ini demi menjaga stabilitas ekonomi,” pungkasnya.

>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id

>>> Ikuti saluran whatsapp beritabangsa.id
Example 468x60Example 468x60Example 468x60 Example 468x60