Menurutnya, band ini memiliki semangat perjuangan yang sejalan dengan visi FSPMI dalam memperjuangkan hak-hak buruh.
“Lagu-lagu Methosa tidak hanya bicara cinta atau romansa, tetapi menyuarakan keresahan sosial. Mereka menjadi mentor moral dalam menyampaikan aspirasi melalui musik,” ujarnya.
Vokalis Methosa, Mansen Munthe, dalam sela konser menyampaikan bahwa tur “Wisata Orang Waras” merupakan perjalanan kesenian yang bertujuan membangun koneksi dengan para seniman dan pegiat komunitas di sembilan kota, yakni Surabaya, Mojokerto, Malang, Yogyakarta, Salatiga atau Magelang, Semarang, Cirebon, Bandung, dan Bogor.
“Kenapa sembilan kota? Karena angka sembilan adalah simbolisasi dari Nusantara yang kaya akan ragam budaya, bahasa, dan kesadaran sosial. Tur ini ingin merangkul semuanya,” ujar Mansen.
Methosa sendiri dikenal sebagai band alternatif yang tidak hanya menyuguhkan musik, tetapi juga menyematkan nilai-nilai perlawanan dalam setiap karyanya.
Lirik-lirik mereka banyak berbicara soal ketimpangan sosial, hak-hak rakyat kecil, dan refleksi atas realitas sosial yang kerap terabaikan.
Meski tampil tanpa kehadiran personel Rina Nose yang dikenal sebagai pengisi suara istimewa dalam beberapa karya mereka, penampilan Methosa tetap mendapat respons luar biasa dari audiens yang didominasi oleh aktivis, pegiat komunitas, dan pelaku UMKM.
Beberapa lagu yang dibawakan antara lain “Nasi Goreng”, “Bangun Orang Waras”, dan “Igual”.
Setiap lagu disambut dengan tepuk tangan meriah dan koor dari para penonton yang seakan merasakan betul ruh perjuangan dalam setiap bait lagu.
Methosa bukan sekadar band. Mereka adalah suara dari jalanan, dari mereka yang terpinggirkan, dan dari mereka yang memilih bertahan dengan harga diri. Dengan tur “Wisata Orang Waras”, Methosa tidak hanya membawakan musik, tetapi juga pesan, bahwa waras di tengah zaman yang kacau adalah bentuk perlawanan itu sendiri.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id.