Tindakannya lantas kemudian menjadi agenda rutin tahunan yang mendobrak pakem lama yang membuat ia dikritik hebat oleh kalangan konservatif Vatikan karena ada kaki wanita yang ia basuh.
Suara lantangnya juga menjadi kontrovesi saat ia berujar jika gereja tidak sedang membicarakan ideologi-ideologi baru perihal homoseksualitas, kontrasepsi buatan, dan aborsi. Melainkan ia menggiring gereja untuk bertindak ke arah lebih fundamental terkait kemiskinan dan pemenuhan hak atas manusia marjinal.
Saat dunia sedang dilanda teror besar akibat ISIS, Paus tak lantas menyudutkan Islam sebagai biang dari segalanya. Ia mengutarakan pendapat objektif. Paus melihat hampir semua agama memiliki kelompok kecil radikalis, tidak terkecuali di kalangan Katolik sendiri.
Para kapitalis hipokrit juga tak luput dari kritiknya. Menurutnya bagi umat Katolik yang mengekspoitasi orang tanpa upah layak, merusak alam secara berlebih, melakukan perampokan besar yang mengakibatkan orang lain sengsara lebih baik baginya menjadi ateis daripada harus mengemban amanah menjadi bahkan mengaku umat Katolik.
Kritiknya juga menyeret Israel-Palestina dalam catur perang opini publik. Keberpihakannya terhadap warga Gaza menjadi saksi untuk sebagian kalangan dalam perjuangannya memberangus kekejaman perang. Sikap itu pula yang menjadikan ia dikecam oleh kalangan konservatif.
Namun kecaman itu hanya angin lalu bagi Paus. Baginya menjadi paus bukan untuk meenggenggam hegemoni kekuasaan melainkan menjadi tangan dan suara bagi kaum kecil yang dibungkam suaranya.
(*) Penulis adalah wartawan beritabangsa.id
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi beritabangsa.id
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id