Dalam sesi tausiyahnya, Prof. Nasaruddin Umar menyoroti dimensi spiritual haji sebagai bagian dari misi kekhalifahan manusia.
Ia mengutip hadis Qudsi dan Surat Al-Baqarah ayat 30 sebagai pengingat bahwa manusia dipilih bukan karena asal-usulnya, melainkan karena kemampuannya untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan.
“Allah mencintai dialog. Setelah pulang haji, jangan takut berdialog dengan siapa pun. Itu adalah tradisi Tuhan,” pesannya.
Ia juga mengisahkan Kakbah sebagai rumah tobat pertama di bumi, dibangun di Bakkah sebagai replika Baitul Ma’mur, tempat para malaikat bertawaf di langit ketujuh.
Menurutnya, ritual tawaf adalah bentuk penyerahan diri dan simbol penyucian spiritual, meniru gerakan malaikat yang selalu dekat dengan poros ilahi.
Dalam pemaparannya, Nasaruddin menambahkan bahwa Hajar Aswad dulunya adalah batu putih yang berubah warna akibat dosa manusia.
Meskipun kini hanya tersisa tujuh butir seukuran kemiri akibat pencurian di masa lalu, makna spiritualnya tetap terjaga.
Ia juga mengutip pandangan sufi besar Ibnu Arabi dari Futuhat al-Makkiyah, yang menyebut bahwa pahala 100.000 kali lipat tak hanya berlaku di pelataran Kakbah, tetapi mencakup seluruh wilayah Tanah Haram.
Acara ini turut dihadiri sejumlah tokoh nasional dan pejabat Kemenag, termasuk Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji Dahnil Anzar Simanjuntak, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief, serta jajaran eselon II Kemenag dari seluruh Indonesia.
Hadir pula perwakilan dari Bank Syariah Indonesia dan Kementerian Kesehatan.
Nasaruddin menyebut, penyelenggaraan bimbingan manasik haji nasional ini diharapkan mampu menyiapkan jemaah secara komprehensif, baik dari aspek syariat maupun spiritual.
Terlebih dalam suasana keberkahan Haji Akbar, momentum ini menjadi pengingat bahwa haji bukan hanya tentang ritual, tapi juga tentang pembentukan pribadi yang kembali dalam keadaan suci, mabrur, dan membawa rahmat bagi sesama.
>>> Klik berita lainnya di news google beritabangsa.id
